Tiga Alasan Ojek Online Tolak Kenaikan Harga BBM Pertalite
Pengemudi ojek online Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menolak kenaikan harga BBM atau bahan bakar minyak dalam demonstrasi di Gedung DPR, kemarin (29/8). Setidaknya ada tiga alasan mereka menentang kebijakan ini.
Pemerintah memang tengah mengkaji kenaikan harga BBM subsidi jenis pertalite dan solar. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menilai, harga BBM perlu naik seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia.
Perang Rusia dan Ukraina berdampak pada krisis pangan dan energi global, termasuk Indonesia. Hal ii diperparah dengan langkah Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang bakal mengurangi cadangan minyak mentah tiga juta barel.
"Harga minyak ini pun akan masih berfluktuasi di atas US$ 100 per barel. Seluruh dunia bakal mengalami dan itu berat buat Indonesia. Harga crude oil itu masih bisa naik (lagi) ke depan," kata Luhut dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah, Selasa (30/8).
Namun pengemudi ojek online menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Alasannya yakni:
1. Sebagian besar pengemudi ojek online menggunakan pertalite
Ketua Presidium Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Igun Wicaksono menyebutkan, hampir seluruh pengemudi ojek online di Tanah Air menggunakan pertalite. “Kecuali pengguna sepeda motor listrik,” ujar dia kepada Katadata.co.id, dua pekan lalu (18/8).
Biaya untuk membeli BBM sekitar 30% - 40% dari pendapatan yang diperoleh pengemudi ojek online. “Apabila ada kenaikan (harga BBM), artinya pendapatan kami bakal turun,” kata dia.
2. Ingin ada penerapan subsidi BBM tepat guna
Ketua Asosiasi Driver Online (ADO) Taha Syafariel meminta pemerintah menerapkan subsidi tepat guna sebelum mengerek harga pertalite dan solar. Ia berharap, pengemudi taksi dan ojek online mendapatkannya.
“Kalau belum ada subsidi tepat guna, lalu harga BBM naik, mekanisme di lapangan akan sulit,” ujar Ariel kepada Katadata.co.id, Sleasa (30/8).
3. Inflasi tinggi dapat mengurangi permintaan
Direktur Center for Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, jika harga BBM dan tarif ojek online naik bersamaan maka akan mendorong inflasi menjadi 7% - 8% secara tahunan (year on year/yoy).
Begitu pun dengan inflasi di sektor transportasi. “Sumbangan inflasi transportasi akan naik signifikan,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, minggu lalu (23/8).
Hal itu juga dapat berpengaruh terhadap pendapatan mitra pengemudi Gojek, Grab, dan Maxim. “Kalau tarif naik tinggi, konsumen akan kaget dan mencari alternatif transportasi lain,” ujarnya.
Menurut Bhima, pemerintah harus berhati-hati dalam mendesain kenaikan tarif. Pemerintah dinilai perlu mengecek peningkatan konsumsi kelas menengah, tingkat inflasi, dan tantangan yang bisa menghambat daya beli.
“Disposable income dari konsumen ojek online juga tergerus oleh harga pangan,” kata dia. “Dari segi pendapatan pengemudi, saat ini dalam proses pemulihan karena mobilitas belum kembali ke pra-pandemi.”
Berdasarkan data Google Mobility di Jakarta per 10 Agustus, tingkat pergerakan masyarakat ke ritel atau pusat perbelanjaan minus 11%, ke stasiun transit negatif 24% dan ke perkantoran turun 7%. Belum lagi, persaingan antara pengemudi ojek online juga tinggi.
“Jadi kenaikan tarif seolah membantu pendapatan pengemudi ojek online, tapi sebenarnya bisa blunder,” katanya.
Hal senada disampaikan oleh Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda. “Dengan adanya kenaikan harga Pertalite bisa mencapai 7% - 8,5%,” kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (23/8).
Hal ini tentu akan membuat daya beli masyarakat menurun dan memperlambat pemulihan ekonomi.