Penyebab Mahalnya Ongkos Kirim Produk E-Commerce ke Luar Jawa

Desy Setyowati
17 Oktober 2018, 17:58
Logistik e-commerce
ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Pekerja memilah paket barang di gudang logistik TIKI di kawasan Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.

Sejalan dengan pesatnya perkembangan e-commerce, industri logistik juga dituntut bergerak lebih cepat. Hanya, masih keluhan soal mahalnya ongkos kirim, terutama ke luar Jawa.

Founder and CEO Iruna eLogistics Yan Hendry Jauwena pun mengakui hal itu. "Tantangan utama kami adalah biaya yang masih mahal," kata dia kepada Katadata usai Focus Group Discussion di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (17/10).

Salah satu penyebab mahalnya biaya logistik adalah arus barang hanya terjadi searah. Saat mengantar pesanan e-commerce misalnya, angkutan barang keluar Jawa umumnya penuh, namun kosong saat kembali ke Jawa.

"Biaya memang tinggi, tapi bisa ditekan. Caranya, dengan teknologi, infrastruktur yang baik, dan regulasi yang mendukung," ujar Hendry.

Menurutnya, saat ini menurutnya pengiriman barang di Tanah Air bisa mencapai kurang dari dua hari sebagaimana standar e-commerce terbesar di Tiongkok, Alibaba. Walaupun, ia mengakui, Indonesia yang merupakan negara kepulauan menjadi tantangan tersendiri bagi industri logistik. "Fast Moving Consumer Goods (FMCG), termasuk makanan pun bisa," kata dia. 

(Baca juga: Adu Kuat Perusahaan Logistik Berebut Pasar E-Commerce)

Hanya, ada beberapa barang yang pengirimannya bisa melampaui dua hari. Barang tersebut misalnya, dianggap berbahaya untuk dikirim menggunakan pesawat seperti benda mengandung bahan peledak, kursi roda bertenaga baterai, dan lain sebagainya. "Selebihnya, industri logistik nasional bisa mengirim hanya dua hari," katanya.

Presiden Direktur Digivla Reza A. Maulana menambahkan, industri logistik di Tanah Air bisa memanfatkan big data untuk meningkatkan efisiensi. Hanya, menurutnya perlu gerbang logistik nasional (national logistic gateway) untuk mendukung industri ini. "Ini bisa jadi alternatif solusi dalam pengembangan big data di sektor logistik," kata dia.

Kebijakan ini bisa memuat lima hal. Di antaranya, regulasi dan panduan yang jelas terkait penggunaan data; mendorong kerja sama antara pemerintah dan badan usaha (KPBU); mendorong transparansi dalam algoritma; menstimulasi sektor publik dan swasta di bidang logistik untuk berbagi data; serta, memastikan keamanan privasi data.

(Baca juga:  Baru Setahun, Sebagian Peta Jalan E-Commerce Sudah Tak Relevan)

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pengolahan Makanan dan Industri Peternakan Juan Permata Adoe menyampaikan, bahwa potensi bisnis logistik di Indonesia cukup besar. Riset Frost and Sullivan menunjukkan, industri transportasi dan logistik di Indonesia akan tumbuh 15,4% atau senilai Rp 4.396 triliun pada 2020. Total marketnya mencapai Rp 2.152 triliun, yang terbagi dari Rp 578,9 triliun sektor transportasi dan sisanya Rp 1.573 triliun dari kegiatan logistik pada 2020.

Hanya, ia mendorong agar industri logistik Indonesia meningkatkan kapasitas diri guna mengimbangi pertumbuhan e-commerce. Ia pun mendorong industri logistik nasional mengikuti jejak Tiongkok. "Dalam 48 jam terkirim. Kalau tidak bisa, tidak bisa masuk Alibaba. Nah, Indonesia haru bisa mempersiapkan itu," katanya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...