Investor Sebut TikTok Shop Bikin Persaingan Harga Makin Ketat
TikTok Shop belakangan menjadi perhatian pemerintah terutama terkait barang impor dan perizinan. Dari kalangan investor, Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir menilai kehadiran platform meningkatkan persaingan dari sisi harga di e-commerce.
“Sebab, sekarang tiba-tiba ada subsidi (diskon). Persaingan harga meningkat lagi,” kata Pandu dalam Bloomberg CEO Forum at Asean, Rabu (6/9).
Ia juga menyoroti bisnis TikTok Shop yang masuk kategori social commerce, ketimbang e-commerce. “Apakah itu baik atau buruk? Apakah itu positif bagi masyarakat atau tidak?” ujarnya.
Pandu juga menyinggung kehadiran TikTok yang dilarang di beberapa negara seperti India dan Amerika Serikat (AS). Sementara di Indonesia, semua bisnis TikTok terbuka lebar untuk beroperasi.
“Tetapi bayangkan jika di negara asal (Cina) tidak bisa digunakan, kenapa di Indonesia semuanya terbuka?” kata Pandu.
Menurutnya, TikTok Shop mengubah ‘cara kerja’ e-commerce, karena mengganggu keseimbangan persaingan.
Katadata.co.id mengonfirmasi pandangan tersebut kepada TikTok. Namun belum ada tanggapan.
Sementara saat ini, Kementerian Perdagangan atau Kemendag tengah merancang aturan terkait social commerce dan e-commerce. Kementerian ingin perizinannya dipisah.
Sedangkan Menteri Koperasi dan UKM atau MenKopUKM Teten Masduki menolak platform media sosial seperti TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan di Indonesia.
"India dan Amerika berani menolak dan melarang TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan. Sementara di Indonesia bisa," kata Teten dalam keterangan pers, Rabu (6/9).
“Dari riset dan survei, kita tahu orang belanja online itu dinavigasi, dipengaruhi perbincangan di media sosial. Belum lagi sistem pembayaran dan logistik, mereka pegang semua. Ini namanya monopoli," Teten menambahkan.
Selain itu, Teten menyoroti perlunya aturan barang impor. "Ritel dari luar negeri tidak boleh lagi menjual produk langsung ke konsumen. Mereka harus masuk lewat mekanisme impor biasa terlebih dahulu, baru menjualnya di pasar digital Indonesia," kata Teten.
“Kalau mereka langsung menjual produk ke konsumen, UMKM Indonesia pasti tidak bisa bersaing karena UMKM harus mengurus izin edar, SNI, sertifikasi halal, dan lain sebagainya,” Teten menambahkan.