OJK Tidak Bisa Intervensi Bunga Pinjaman dari Fintech
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak bisa mengintervensi besaran bunga yang ditetapkan oleh investor melalui perusahaan teknologi finansial (tekfin) yang bergerak di sektor pinjam-meminjam (peer to peer lending). Alasannya, tingkat suku bunga yang diberikan sifatnya berupa kontrak antara peminjam dengan pemberi pinjaman.
"Ini tentu kesepakatan antara dua pihak. OJK tidak bisa mengintervensi, dalam artian menetapkan harus sekian persen, itu tidak bisa," ujar Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida di kantornya, Jakarta, Selasa (13/11). Kalaupun OJK datang untuk mengintervensi besaran bunga, kedua pihak bisa saja tidak sepakat soal besaran bunga sehingga tidak terjadi transaksi peminjaman. Untuk itu, prioritas OJK adalah memastikan perusahaan P2P lending untuk melakukan keterbukaan atau transparansi informasi mengenai perusahaannya.
Dengan keterbukaan informasi tersebut, calon peminjam dapat menilai tingkat risiko yang akan ditanggung dan dapat memperkirakan tingkat bunga yang pantas disepakati oleh pihak peminjam. Keterbukaan informasi tersebut menjadi kewajiban perusahaan P2P lending karena telah diatur dalam Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Selain itu, dengan keterbukaan informasi ini, pemberi pinjaman (investor) dapat menilai risiko apa yang dihadapi ketika meminjamkan uangnya kepada peminjam. Dengan mengetahui risiko tersebut, dia bisa memperkirakan besaran bunga yang diberikan kepada peminjam. "Jika peminjam transparan tentang kondisi bisnisnya, masa depan bisnisnya, prospeknya ke depan, maka yang meminjamkan akan bisa mengakses risikonya kira-kira seperti apa," kata Nurhaida.
Meski begitu, OJK belum dapat memetakan kondisi di lapangan soal keterbukaan informasi yang dilakukan oleh perusahaan tekfin P2P lending. Jika tekfin tidak melaksanakan instruksi tersebut, OJK akan menjatuhkan sanksi. "Kita lihat dari ketentuannya, tingkat sanksinya ada bermacam-macam. Misalnya, diberikan peringatan dan paling terakhir dicabut izinnya," kata Nurhaida.
(Baca: Cara Terhindar dari Jerat dan Rayuan Fintech Ilegal)
Dalam menindak pelanggaran yang dilakukan oleh tekfin P2P lending, OJK harus melihat posisi perusahaan tersebut apakah sudah memiliki izin atau terdaftar di OJK atau belum. Jika mereka memiliki izin atau terdaftar di OJK, perusahaan tersebut bisa diberi sanksi sesuai aturan.
Perusahaan P2P lending yang tidak memiliki izin dari OJK, akan ditindak oleh Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi, di mana OJK menjadi koordinatornya. "Ada juga pihak dari kepolisian dan instansi lain yang dianggap perlu untuk menyelesaikan hal yang sebenarnya bukan dalam ranah OJK," ujarnya.
Maraknya perkembangan tekfin berbasis pinjaman online ini memunculkan banyak aduan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Setidaknya ada 283 orang yang mengadu, terkait pinjaman dari perusahaan tekfin. Sebagian besar mengeluhkan cara penagihan dari penyedia pinjaman online yang menggunakan ancaman atau mempermalukan peminjam ketika pembayaran cicilan macet. Di antara konsumen yang mengadu ke LBH bahkan ada yang mencoba bunuh diri karena terjerat utang.
Kepala Satuan Tugas Waspada Investasi OJK Tongam Lumban Tobing mengatakan, instansinya selalu mengimbau masyarakat untuk hanya menggunakan layanan fintech pinjam-meminjam (lending) yang terdaftar di OJK. Saat ini, ada 73 perusahaan fintech P2P lending yang terdaftar, datanya bisa dicek di situs resmi OJK di www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi.
(Baca: Marak Kasus Fintech Nakal, OJK Minta Masyarakat Melapor ke Polisi)