Pandemi dan 2 Aturan BI Berpotensi Dongkrak Transaksi GoPay dan OVO
Data internal Xendit menunjukkan, penggunaan layanan teknologi finansial (fintech) pembayaran melonjak selama pandemi corona. Bank Indonesia (BI) pun mengkaji dua aturan yang berpotensi membuat transaksi GoPay, ShopeePay, OVO hingga DANA terus meroket.
Startup perusahaan payment gateway dan teknologi keuangan Xendit melaporkan telah memproses lebih dari 150 juta transaksi pembayaran digital, di Indonesia dan Filipina selama 30 November 2020 - 30 November 2021. Nilainya lebih dari US$ 12 miliar.
Di Indonesia, dompet digital (e-wallet) berkontribusi 24% terhadap total pembayaran di Xendit per November 2020. Porsinya meningkat menjadi 43% pada periode yang sama tahun ini.
Hampir separuh seller online menerima pembayaran via e-wallet. Penggunaan layanan fintech pembayaran ini pun mencapai lebih dari 300% sejak awal tahun (year to date/ytd).
Sedangkan jumlah pengguna e-wallet meningkat 2,4 kali lipat secara tahunan (year on year/yoy). “Tahun ini, e-wallet menjadi pilihan utama konsumen di Indonesia,” kata Inbound Sales of Xendit Patricia Muljadi saat konferensi pers virtual, Selasa (14/12).
Penggunaan kode Quick Response (QR Code) juga meningkat hingga tujuh kali lipat yoy. Ini didorong oleh regulasi Bank Indonesia (BI) yang menetapkan Quick Response Indonesian Standard (QRIS), sehingga semua pembayaran digital dapat difasilitasi hanya dengan satu kode yang sama.
“Pada 2019, adopsi e-wallet itu baru atau tidak seheboh pada 2020 -2021,” ujar Patricia.
Rata-rata nilai transaksi di e-wallet yakni Rp 70 ribu. Sedangkan pembayaran menggunakan akun virtual (virtual account) rerata Rp 2,3 juta.
Lalu, rata-rata transaksi di gerai ritel Rp 1,2 juta dan kartu kredit Rp 800 ribu.
Patricia memperkirakan, e-wallet masih masif diadopsi terutama bisnis yang menargetkan anak muda dan menjual produk Rp 500 ribu ke bawah.
Terlebih lagi, BI menyiapkan dua aturan terkait fintech pembayaran. Bank sentral berencana menguji coba penyaluran bantuan sosial atau bansos melalui platform fintech hingga biometrik akhir bulan ini.
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendarta mengatakan, BI menyiapkan tiga model penerapan digitalisasi penyaluran bansos yang akan diujicoba, yakni:
- Menggunakan QRIS
- Melalui PT Pos Indonesia
- Menggunakan teknologi biometrik
"Semua model ini akan diimplementasikan pada 2024. Tapi, pada akhir November atau awal Desember, akan ada uji coba," kata Filianingsih dalam konferensi pers virtual, bulan lalu (15/11).
BI juga menyiapkan penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC) atau rupiah digital. Ini bertujuan akan memudahkan transaksi masyarakat.
Kedua kebijakan itu berpotensi mendongkrak transaksi fintech pembayaran.
Laporan dari Standard & Poor's atau S&P bertajuk ‘Southeast Asia E-Money Market Report’ menunjukkan, masyarakat Indonesia lebih memilih pembayaran dari fintech ketimbang bank. Penggunaan layanan fintech terdongkrak transaksi e-commerce hingga gim.
S&P mencatat, penggunaan layanan pembayaran fintech di Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Pada 2019, transaksi uang elektronik di Nusantara mencapai US$ 10 miliar.
Sedangkan dompet digital dari fintech menyumbang sekitar 72% dari transaksi uang elektronik di Tanah Air. "Fintech telah melampaui bank sebagai penyedia pembayaran utama di Indonesia," demikian dikutip dari laporan S&P Global yang dirilis pada Januari lalu (27/1).
Di Singapura, Malaysia, dan Thailand, layanan pembayaran dari bank masih mendominasi.
Selain itu, S&P mencatat bahwa fintech di Indonesia terdongkrak banyaknya pengguna ponsel pintar (smartphone). Jumlahnya dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:
S&P memperkirakan, penggunaan fintech sebagai opsi pembayaran di Indonesia terus melonjak. Namun, bank tidak tinggal diam.
Bank diprediksi memperluas layanan digital. "Bank memperluas layanan tagihan dan lainnya yang tersedia melalui aplikasi digital perbankan," demikian dikutip dari laporan.