BI Kaji Uang Digital, Fintech Pembayaran Diramal Jadi Primadona 2022
Bank Indonesia (BI) tengah mengkaji pembuatan uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC). Ini dinilai menjadi salah faktor pendorong minat investor terhadap startup teknologi finansial (fintech) pembayaran tahun depan.
Bendahara Asosiasi Modal Ventura Seluruh Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan mengatakan, fintech pembayaran banyak mendapatkan pendanaan dari investor karena daya tariknya dalam menunjang transaksi non-tunai. Sedangkan tren pembayaran non-tunai diramal semakin masif tahun depan.
"Tren layanan fintech tahun depan akan semakin menarik. Masyarakat juga bakal semakin didorong untuk frictionless (tanpa interaksi fisik)," kata Edward kepada Katadata.co.id, Kamis (16/12).
Ia juga memprediksi bahwa perilaku masyarakat dalam bertransaksi secara non-tunai semakin matang. "Ini karena pengguna diberikan opsi layanan yang mudah, cepat, dan bisa bertransaksi di mana saja," ujarnya.
Laporan Fintech in ASEAN 2021: Digital Takes Flight pun menunjukkan, jumlah pendanaan ke startup fintech di Indonesia mencapai US$ 904 juta atau sekitar Rp 12,90 triliun pada kuartal III 2021. Mayoritas ditujukan untuk fintech pembayaran, yakni 36% atau US$ 325,44 juta.
Selain itu, ada faktor lain yang menjadi daya tarik investor berinvestasi ke startup fintech pembayaran. Salah satunya, BI mengkaji penyaluran bantuan sosial (bansos) lewat platform seperti GoPay dan OVO.
"Ini karena masing-masing startup fintech pembayaran memiliki data yang sama dan mudah untuk diimplementasikan dalam penyaluran bansos di lapangan," ujarnya.
BI menyiapkan tiga model penerapan digitalisasi penyaluran bansos yang akan diujicoba, yakni penyaluran bansos menggunakan QRIS, PT Pos Indonesia, dan menggunakan teknologi biometrik. Bank sentral menargetkan penerapan semua model ini pada 2024.
Selain itu, BI berencana menerbitkan rupiah digital atau CBDC. Wakil Ketua Umum III Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Harianto Gunawan menilai, CBDC akan berdampak positif terhadap industri ini, khususnya fintech pembayaran seperti OVO, GoPay, DANA hingga LinkAja.
CBDC membuat transaksi lebih efisien dan minim biaya. Proses transaksi juga menjadi lebih mudah.
Menurut dia, CBDC membuka ceruk pasar dan layanan baru bagi sektor fintech. "Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang belum pernah tersentuh bank bisa memiliki digital money, seperti punya uang kartal. Teknologi ini bisa dipakai berdagang," ujarnya kepada Katadata.co.id, dua pekan lalu (6/12).
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendarta mengatakan, pembayaran lewat uang elektronik, termasuk fintech pembayaran seperti GoPay dan OVO akan tumbuh pesat tahun depan.
"Uang elektronik akan jadi media pembayaran tertinggi. Transaksinya tumbuh jadi Rp 337 triliun pada 2022 dari Rp 229 triliun tahun ini," kata Fili dalam konferensi pers virtual pada kemarin (16/12).
Data internal Xendit juga menunjukkan bahwa penggunaan fintech pembayaran melonjak selama pandemi corona. Startup payment gateway dan teknologi keuangan ini memproses lebih dari 150 juta transaksi pembayaran digital, di Indonesia dan Filipina selama 30 November 2020 - 30 November 2021. Nilainya lebih dari US$ 12 miliar.
Di Indonesia, dompet digital (e-wallet) berkontribusi 24% terhadap total pembayaran di Xendit per November 2020. Porsinya meningkat menjadi 43% pada periode yang sama tahun ini.
Hampir separuh seller online menerima pembayaran via e-wallet. Penggunaan layanan fintech pembayaran ini pun mencapai lebih dari 300% sejak awal tahun (year to date/ytd).
Sedangkan jumlah pengguna e-wallet meningkat 2,4 kali lipat yoy. “Tahun ini, e-wallet menjadi pilihan utama konsumen di Indonesia,” kata Inbound Sales of Xendit Patricia Muljadi saat konferensi pers virtual, Selasa (14/12).