Anak Usaha Bank Mandiri Kurangi Investasi ke Startup Pinjaman Online
Teknologi finansial (fintech) menjadi primadona investor dalam beberapa tahun terakhir. Namun anak usaha Bank Mandiri, Mandiri Capital Indonesia justru mengurangi konsentrasi terhadap startup fintech lending atau pembiayaan alias pinjaman online (pinjol).
Alasannya, faktor risiko. “Secara risk appetite, kami mengurangi konsentrasi ke fintech atau peer to peers (P2P) lending,” kata Chief Financial Officer Mandiri Capital Indonesia Faisal Rino Bernando saat konferensi pers, Kamis sore (13/10).
Meski begitu, ia menyampaikan bahwa Mandiri Capital Indonesia sudah berinvestasi di startup fintech lending dalam jumlah besar. Namun ia tidak memerinci nilai maupun volume pendanaannya.
“Portofolio kami di fintech lending sudah cukup besar,” kata Rino.“Jadi secara grup, kami ingin diversifikasi sektor. Ada agrikultura dan lainnya.”
Beberapa fintech lending yang disuntik modal oleh Mandiri Capital Indonesia di antaranya:
- Koinworks Indonesia
- Investree Indonesia
- Crowde Indonesia
- Amartha Indonesia
“Keempatnya ini bring well. Berkembang sangat baik,” kata Chief Investment Officer Mandiri Capital Indonesia Dennis Pratistha.
Kredit Macet Fintech Lending Meningkat
Tingkat Keberhasilan Pembayaran di bawah 90 hari (TKB90) fintech lending secara keseluruhan 97,11% per Agustus. Ini artinya, kredit macet alias Tingakt Wanprestasi Pengembalian 90 hari (TWP90) 2,89%.
Namun, TKB90 TaniFund hanya 51,73 % per minggu lalu (4/10). Ini artinya, 48,27 % peminjam tak mampu membayar pinjaman alias kredit macet.
Pemberi pinjaman atau lender TaniFund pun mengeluhkan dana mereka tidak kembali. William Sumoro misalnya, menyatakan bahwa lebih dari Rp 100 juta miliknya masih tersangkut di startup ini.
Katadata.co.id mengonfirmasi kepada induk TaniFund yakni TaniHub mengenai keluhan warganet yang mengaku sebagai lender, sejak akhir bulan lalu (27/9). Namun hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan.
Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Tris Yulianta menyampaikan, lender memang menanggung risiko jika peminjam (borrower) di fintech lending telat atau tidak membayar pinjaman.
Hal itu tertuang dalam perjanjian. “Jadi, tidak ditanggung oleh platform P2P lending,” kata Tris kepada Katadata.co.id, akhir bulan lalu (27/9). Perusahaan seperti TaniFund dan iGrow hanya berkewajiban menagih cicilan kepada peminjam.
“Sebelum penyaluran pinjaman, platform P2P lending menyediakan informasi calon peminjam, termasuk hasil scoring dan memfasilitasi asuransi kredit apabila lender memilih mengasuransikan,” ujar dia.
Jika meninjau dari sisi keseluruhan industri fintech lending, menurutnya kredit macet saat ini belum pada tingkat yang membahayakan. “Saat periode pandemi corona, TWP 90 bahkan pada Agustus 2020 pernah mencapai 8,88 %. Kemudian berangsur-angsur membaik,” kata dia.
Namun dia mengakui bahwa OJK belum menentukan tingkat tertentu dalam penilaian kesehatan penyaluran pinjaman. “Meski demikian, kami memonitor ketat perubahan dari TWP90 (kredit macet) tersebut,” tambah dia.
Sedangkan Ketua Bidang Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) Andi Taufan menilai, rasio kredit macet meningkat karena industri fintech lending tumbuh besat. “Peningkatan TWP 90 sulit dihindari,” ujar dia kepada Katadata.co.id, akhir bulan lalu (27/9).
Ia menjelaskan bahwa non performing loan (NPL) atau kredit macet cenderung naik ketika terjadi penambahan jumlah penyaluran secara signifikan, termasuk jumlah borrower. Penyaluran pinjaman oleh fintech lending memang meningkat, rinciannya sebagai berikut: