Amartha Bantah Tuduhan KPPU soal Dugaan Kartel Bunga Pinjol: Sudah Sesuai OJK
PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) membantah tuduhan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait dugaan kartel bunga pinjaman dalam layanan fintech pendanaan (P2P lending) periode 2020–2023. Batas bunga yang ditetapkan merupakan perjanjian dan bentuk kepatuhan terhadap arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Amartha berbeda dengan pinjaman konsumtif, dan sejak 2018 hingga 2023 kami konsisten menerapkan bunga sekitar 2% per bulan,” ujar Kuasa Hukum Amartha Harry Rizki Perdana dalam sidang Perkara Nomor 05/KPPU-I/2025 di Jakarta, dikutip dari siaran pers, Kamis (11/9).
Dalam perkara ini, investigator KPPU menduga adanya dugaan kartel bunga pinjaman berdasarkan Pedoman Perilaku (Code of Conduct) Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Pedoman itu mengatur batas atas bunga pinjaman P2P lending sebesar 0,8% per hari yang kemudian diturunkan menjadi 0,4% per hari pada 2021. Investigator menilai aturan ini sebagai bentuk kesepakatan harga (price fixing).
Namun, Harry menolak pandangan tersebut. Menurutnya, pedoman Perilaku AFPI tidak bisa dijadikan dasar bukti perjanjian kartel. Pedoman itu disusun sebagai bentuk kepatuhan terhadap Peraturan OJK Nomor 77/2016 dan hasil collective action AFPI bersama OJK untuk menutup celah regulasi dalam melindungi konsumen dari praktik pinjaman online ilegal dan tidak etis.
“Pedoman Perilaku AFPI disusun sesuai arahan surat edaran OJK saat itu, yang salah satu poinnya adalah larangan bagi para anggota AFPI untuk melakukan predatory lending,” kata dia.
Menurut dia, penetapan batas atas suku bunga dalam pedoman tersebut bukan berarti adanya kewajiban penyeragaman harga. Setiap anggota AFPI tetap dapat menentukan bunga secara mandiri. Adapun perusahaan sejak berdiri 15 tahun lalu konsisten fokus pada pembiayaan produktif bagi usaha ultra mikro dan UMKM, khususnya perempuan di pedesaan.
“Sebagai contoh, Amartha konsisten menerapkan suku bunga sekitar 2% per bulan sejak 2018 sampai dengan 2023. Artinya, Amartha tidak mengikuti batas maksimum yang ditetapkan dalam Pedoman Perilaku AFPI karena tingkat bunganya jauh di bawah itu,” kata Harry.
Selain itu, Harry menekankan bahwa struktur pasar fintech lending di Indonesia tidak menunjukkan pola oligopoli yang dapat menjadi prasyarat terbentuknya kartel. Merujuk data KPPU, empat besar pemain P2P lending hanya menguasai total pangsa pasar sekitar 40%.
“Berdasarkan data ini, struktur pasar fintech lending Indonesia lebih mendekati kategori persaingan efektif. Lagipula, jumlah perusahaan yang menjadi terlapor sangat banyak, 97 perusahaan. Bagaimana mungkin membuat kesepakatan kalau pemainnya sangat banyak,” ujarnya.
