Transaksi Bayar Digital Diramal Rp 9.007 Triliun Ditopang QRIS

Kamila Meilina
13 November 2025, 15:22
qris,
ANTARA FOTO/Putra M. Akbar/YU
Pengunjung mencoba Qris Tap In & Out saat Festival Ekonomi dan Keuangan Digital (FEKDI) x Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) 2025 di Jakarta, Kamis (30/10/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Nilai transaksi bruto pembayaran digital diperkirakan US$ 538 miliar atau Rp 9.007 triliun (kurs Rp 16.730 per US$) tahun ini. Salah satu faktor pendorongnya yakni QRIS.

Merujuk pada laporan eConomy SEA 2025 yang dirilis oleh Google, Temasek, dan Bain & Company, nilai transaksi pembayaran digital tumbuh 27% secara tahunan alias year on year (yoy) dari US$ 423 miliar tahun lalu. Nilai transaksinya diperkirakan mencapai US$ 1.000 miliar pada 2030.

“Angkanya sangat masif. Ini mengukuhkan status Indonesia sebagai pasar pembayaran digital terbesar di Asia Tenggara,” kata Country Director Google Indonesia Veronica Utami dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (13/11).

“Skala ini sebagian besar didorong oleh keberhasilan QRIS dalam menyatukan pasar, dan juga didorong oleh adopsi digital yang lebih besar lagi,” Veronica menambahkan.

Google, Temasek, dan Bain & Company menyampaikan kondisi keuangan Indonesia berubah dengan cepat berkat QRIS. Pada saat yang sama, bank digital baru, yang banyak di antaranya didukung oleh perusahaan teknologi besar, mampu memperoleh nasabah dan pangsa pasar dengan cepat, sehingga memicu gelombang baru persaingan dan inovasi di seluruh sektor jasa keuangan.

Bank Indonesia atau BI mencatat transaksi QRIS mencapai 10,33 miliar kali per September. QRIS telah menjangkau 58 juta pengguna dan 41 juta merchant atau pedagang di seluruh Indonesia.

“Sebanyak 90% dari 41 juta merchant itu merupakan UMKM. Capaian ini mendorong rasio inklusi keuangan yang menurut Susenas menyentuh 75,02%,” kata Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta dalam acara pembukaan Bulan Fintech Nasional (BFN) 2025 di Jakarta, Selasa (11/11).

QRIS juga terus dikembangkan agar bisa digunakan masyarakat untuk transaksi lintas-negara (cross border). Saat ini, QRIS telah terhubung dengan QR milik Malaysia, Thailand, dan Singapura.

Baru-baru ini, QRIS juga terhubung dengan QR Jepang, namun masih tahap outbound, yakni baru dapat digunakan oleh masyarakat Indonesia saat bertransaksi di Jepang untuk memindai JPQR.

Pada akhir tahun ini, BI menargetkan QRIS bisa digunakan di Cina, baik outbound maupun inbound.

“Korea Selatan mudah-mudahan tahun depan, sebelum pertengahan tahun. Dan ini sekali lagi menegaskan bahwa peran Indonesia sebagai pionir integrasi pembayaran cross border di regional,” kata Filianingsih.

Ia juga menyebutkan nilai transaksi BI-FAST menembus Rp 25.000 triliun dengan volume mencapai 9,61 miliar transaksi sejak pertama kali diluncurkan pada Desember 2021 hingga September 2025.

Capaian itu menjadi salah satu wujud kemajuan pembayaran digital yang tumbuh pesat selama beberapa tahun terakhir sejak implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025.

“Dalam kurun waktu enam tahun, kita bisa melihat sistem pembayaran Indonesia telah melakukan lompatan besar melalui berbagai inisiatif strategis. Dalam kurun waktu ini, kami sudah ada QRIS, BI-FAST, SNAP, elektronifikasi transaksi pemerintah dan transportasi,” kata Filianingsih.

Filianingsih juga mencatat interkoneksi pelaku sistem pembayaran yang semakin kuat, tercermin dari meningkatnya proporsi transaksi yang difasilitasi melalui penerapan Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP).

“Proporsi transaksi sistem pembayaran yang menggunakan standar SNAP ini mencapai 93 persen secara volume dan 83 persen secara nominal,” kata dia.

BI memperkirakan volume transaksi ekonomi dan keuangan digital (EKD) mencapai 147,3 miliar transaksi pada 2030, meningkat empat kali lipat dibandingkan 2024. Menjawab tantangan ini, BI memperkuat infrastruktur sistem pembayaran sebagaimana tertuang dalam BSPI 2030.

“Infrastruktur dirancang agar mampu mengantisipasi prospek lonjakan transaksi, pada 2030 akan naik empat kali lipat. Jadi ini untuk mengantisipasi prospek lonjakan transaksi di masa depan dan juga aspek manajemen risiko yang semakin resilient untuk mencegah risiko fraud dan siber,” kata Filianingsih.

Seiring dengan melesatnya kemajuan digital, Filianingsih mengingatkan adanya tantangan serius yang berkaitan dengan risiko keamanan dan kejahatan digital. Apalagi, kejahatan fraud dan serangan siber berkembang dengan pola yang semakin kompleks.

“Jenis serangan semakin canggih mulai dari middleware attackaccount takeover, synthetic ID, deepfake, AI driven attack, hingga social engineering yang menargetkan masyarakat luas,” ujar dia.

Oleh karena itu, pengelolaan risiko fraud dan siber harus dilakukan secara komprehensif dan kolaboratif. Pelaku industri perlu untuk memperkuat fraud detection systemstrong authentication, serta menerapkan prinsip know your merchant atau know your customer.

Filianingsih juga mengatakan peningkatan literasi digital dan perlindungan konsumen harus terus ditingkatkan yang dalam hal ini bukan hanya tanggung jawab regulator, tetapi juga menjadi tanggung jawab industri dan pengguna.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Kamila Meilina, Antara

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...