Era Internet, Bisakah Cebong dan Kampret Sedamai Fans Dua Manchester?
Bukan rahasia lagi kalau media sosial telah menciptakan polarisasi dalam masyarakat. Dalam konteks Pemilu Indonesia, ada sebutan ‘cebong’ untuk pendukung fanatik Joko Widodo (Jokowi), dan ‘kampret’ yang menjagokan Prabowo Subianto.
Di Jakarta, ada kelompok yang mendukung Gubernur Anies Baswedan dan menyebutnya ‘Goodbener’, dan lawan mereka yang mengolok jabatan itu dengan sebutan ‘Gabener’. Banjir besar yang terjadi di Jakarta pada 1 Januari 2020 lalu membuktikan, opini masyarakat terbelah antara mendukung atau menyalahkan Anies.
Fenomena ini menarik perhatian jurnalis The Guardian Carole Cadwalladr. Dia adalah wartawan yang mengungkap skandal pencurian data pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica untuk kampanye pemenangan Donald Trump di Amerika Serikat (AS).
(Baca: Wawancara Eksklusif Carole Cadwalladr: Keamanan Data di Era Digital)
Cadwalladr pernah menyaksikan bagaimana polarisasi masyarakat AS dalam Pemilu 2016, juga saat masyarakat Inggris terbelah antara bertahan atau keluar dari Uni Eropa (Brexit). “Teknologi telah mendisrupsi demokrasi kita,” kata Cadwalladr dalam Indonesia Data and Economic Conference (IDE 2020) yang diselenggarakan oleh Katadata di Grand Ballroom Kempinski, Jakarta, Kamis (30/1).
Menurutnya, perusahaan besar seperti Facebook yang juga menguasai Instagram dan WhatsApp, serta Google yang memiliki YouTube tak pernah benar-benar terbuka soal dapur iklan politik. Sedangkan, pengiklan dapat menggunakan data pengguna di media sosial untuk merancang strategi dengan target kampanye yang spesifik untuk memenangkan kandidat yang didukungnya.
Belum lagi, algoritma media sosial dirancang sedemikian rupa hingga cenderung mendekatkan pengguna dengan hal-hal yang disukainya. Tujuannya tentu untuk membuat pengguna betah berlama-lama di platform tersebut. Efek sampingnya, mereka jadi kurang terpapar dengan ide-ide lain di luar minatnya.
“Bahkan di Google, orang tidak lagi mencari tahu tentang kebenaran, melainkan hanya sesuatu untuk mendukung opininya,” komentar wartawan senior Tempo, Bambang Harymurti.
(Baca: 4 Tahun Setelah Cambridge Analytica, Apa yang Berubah?)
Cadwalladr berasal dari Inggris. Bambang kemudian mengajukan pertanyaan tentang fenomena yang ditemuinya di Manchester. Kota tersebut memiliki dua tim sepak bola besar: Manchester United dan Manchester City.
Pendukung kedua tim sama-sama fanatik, tapi ia melihat semuanya tetap rukun. Kenapa demokrasi kita tidak bisa sedamai itu?
Cadwalladr menyatakan bahwa dalam konteks sepak bola, permainan dilakukan di lapangan dengan aturan yang ketat. Ada wasit, ada ketentuan soal waktu, kartu kuning, kartu merah, dan sebagainya. “Dengan banyaknya uang yang mengalir ke Facebook dan Google, aturan-aturan itu tidak berlaku (di internet),” tuturnya.
Beberapa negara, seperti Singapura, Tiongkok dan Indonesia mencoba membuat regulasi tentang perlindungan data pribadi. Sedangkan Jerman dan Uni Eropa telah lebih maju dengan implementasi General Data Protection Regulation (GDPR).
Namun, secara umum, upaya tersebut dinilainya belum cukup untuk menjamin keamanan data pengguna. Hampir empat tahun sejak pengungkapan skandal Cambridge Analytica, Cadwalladr tak melihat perubahan signifikan dalam konteks perlindungan data pribadi. “Kita masih tetap tak berdaya,” katanya.
(Baca: Cambridge Analytica dan Peran Negara dalam Perlindungan Data Pribadi)
Bambang membuat analogi. Indonesia adalah penghasil rempah-rempah. Ratusan tahun lalu, masyarakat begitu saja menanamnya di kebun, tanpa mengetahui nilai dan dan kegunaannya. Kemudian Belanda datang, menjajah untuk mendapatkan rempah-rempah itu dan menjualnya dengan harga tinggi di Eropa.
Di era digital, masyarakat dengan sukarela memberikan data pribadinya ke perusahaan seperti Facebook untuk berjejaring sosial. Perusahaan kemudian menjual data itu kepada pengiklan tanpa sepengetahuan pengguna, dan mendapat keuntungan besar.
Cadwalladr mengamininya, “Betul. Kita adalah koloni dalam imperium Facebook.”