Banyak Salah Kaprah, Sri Mulyani Tarik Aturan Pajak untuk E-Commerce
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencabut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai pajak untuk e-commerce. Pencabutan dilakukan karena aturan ini kerap disalahartikan sebagai pungutan pajak yang baru.
"Kami tarik saja aturannya karena noise yang muncul begitu banyak dan tidak produktif,” kata dia di Kantor Perwakilan Pajak (KPP) Pratama Setiabudi di Jakarta, Jumat (29/3).
Lantaran banyak simpang siur, pemerintah akan berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga untuk mengumpulkan informasi dari marketplace. Selain itu, pemerintah melakukan komunikasi lagi dengan seluruh pemangku kepentingan.
(Baca: Asosiasi dan Peneliti Usul Pajak E-commerce Ditunda Hingga 2021)
Direktorat Jenderal Pajak juga akan melakukan perbaikan database, teknologi informasi, dan sistem infrastruktur. Penguatan data juga akan dilakukan melalui pemerolehan pertukaran data otomatis atau informasi dari Automatic Exchange of Information (AEoI) dan program pengampunan pajak (tax amnesty).
Seiring dengan hal tersebut, pemerintah juga menunggu hasil survery dari pelaku e-commerce yang akan selesai pada akhir tahun ini. Harapannya, pajak tersebut dapat mempertimbangkan pelaku penjualan di marketplace maupun media sosial. "Masyarakat ingin semua diperlakukan sama, dan itu spirit aturan kami," ujarnya.
(Baca: Keterbukaan Data Jadi Isu Krusial bagi Pertumbuhan E-Commerce)
Dengan ditariknya PMK tersebut, Menkeu mengingatkan, perlakuan perpajakan untuk seluruh pelaku ekonomi tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para pelaku usaha, baik e-commerce maupun konvensional, yang berpenghasilan hingga Rp4,8 miliar dapat memanfaatkan skema pajak final dengan tarif 0,5 persen dari jumlah omzet usaha.
Rekomendasi iDEA dan KIC
Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) dan Katadata Insight Center (KIC) sebelumnya menilai aturan pajak e-commerce belum menjawab kekhawatiran pelaku usaha. Karena itu, implementasinya perlu ditunda hingga 2021.
Ketua Bidang Ekonomi Digital iDEA Bima Laga mengatakan, ada beberapa poin dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Pajak Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau e-commerce yang belum siap untuk diimplementasikan. Misalnya, pengawasan atas transaksi di media sosial.
(Baca: Demi Pajak E-Commerce, Kemenkeu Buka Kajian Ekosistem Digital)
Asosiasinya sudah mengeluhkan hal itu ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) selama dua bulan terakhir atau sejak dirilisnya PMK Nomor 210. “Poin terkait sosial media itu sama sekali tidak ada di aturan,” ujarnya dalam Katadata Forum bertema ‘Polemik Aturan Perpajakan Bagi E-Commerce’ di Jakarta, kemarin.
Padahal, idEA mencatat penjualan di media sosial seperti Facebook dan Instagram mencapai 66 % dari keseluruhan transaksi secara online di Indonesia pada 2017. Hanya, 16 % yang bertransaksi melalui platform marketplace.
Deputy Head of Research and Data Katadata.co.id Stevanny Limuria menambahkan, transaksi e-commerce di media sosial cukup besar. Survei PayPal terhadap 4 ribu konsumen dan 1.400 merchant di tujuh negara Asia pada 2017 menunjukkan, 80 % memakai media sosial untuk bertransaksi. Ketujuh negara itu adalah Tiongkok, India, Hong Kong, Singapura, Indonesia, Thailand, dan Filipina.
(Baca: Pengusaha Retail Sebut Aturan Pajak E-Commerce Seimbangkan Persaingan )
Karena itu, pemerintah perlu mengkaji penerapan aturan pajak e-commerce. “Dua tahun itu waktu yang tepat untuk mematangkan regulasi dan edukasi di masyarakat. Secara pelan-pelan, nantinya Indonesia akan menerapkan dan lebih terbuka soal perpajakan e-commerce ini," ujar dia.
Merujuk riset KIC, regulasi pajak dalam PMK 210/2018, seperti kewajiban menyerahkan NPWP dan NIK bukan satu-satunya opsi memperluas basis pajak. Pemerintah sebenarnya punya opsi lain untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan pajak dari e-commerce serta menciptakan perlakuan adil bagi platform marketplace dan media sosial.
Selain menunda penerapan pajak ini selama dua tahun, menurut KCI, ada lima solusi alternatifnya. Pertama, akses melalui rekening di bank. Apabila pemerintah ingin mendapatkan data wajib pajak dari pelaku e-commerce di marketplace sebenarnya bisa dilakulan melalui akses terhadap rekening bank milik merchant atau pedagang.
(Baca: Pelaku UMKM Minta Aturan Pajak E-Commerce Ditunda Satu Tahun)
Kedua, edukasi masyarakat. Hal ini penting karena tidak semua masyarakat punya kepedulian soal pajak. Ketiga, pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan lanjutan mengenai ketentuan pajak atas transaksi via media sosial
Keempat, pemerintah perlu memberi insentif dan stimulus bagi pelaku e-commerce. Dengan cara ini, bisnis e-commerce dapat lebih kreatif dan inovatif. Salah satu insentif yang mungkin adalah memasukkan mereka dalam kategori wajib pajak patuh yang tidak menjadi sasaran pemeriksaan pajak.
Terakhir, membuat skema PPN final dengan tarif lebih rendah dari tarif normal. Pemerintah sedang mengkaji pemberlakuan tariff PPN final sekitar dua persen bagi wajib pajak yang memiliki omzet Rp 4,8-10 miliar. Omzet yang melampaui Rp 10 miliar akan dikenai tarif PPN normal sebagai pengusaha kena pajak.