Mengaku Salah, Mark Zuckerberg Bertahan sebagai CEO Facebook
Dalam pertemuan dengan Kongres Amerika Serikat (AS), CEO Facebook Mark Zuckerberg mengakui perusahaannya lalai menjaga data pengguna, hingga disalahgunakan oleh firma konsultan politik Cambridge Analytica. Toh, ia tak berniat mundur dari posisinya.
Sebagaimana dikutip dari Reuters, Zuckerberg menyampaikan bahwa perusahaannya tidak cukup memelajari dampak dari penggunaan data yang dimilikinya secara luas. "Itu adalah sebuah kesalahan," kata dia dalam pernyataan tertulisnya yang dirilis, dikutip dari Reuters, Senin (9/4).
Atas segala pengakuannya itu, Zuckerberg pun meminta maaf kepada Kongres. Terlebih lagi, data-data yang dicuri oleh Cambridge Analytica itu kemudian dijadikan bahan kampanye untuk kampanye pemenangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
"Ini kesalahan saya dan saya minta maaf. Saya yang membuat Facebook, yang mengelolanya, dan saya bertanggung jawab atas apa yang terjadi di sini," ujar Zuckerberg.
(Baca juga: Tujuh Isu Besar Ekonomi Digital: Keamanan Data hingga Logistik
Hanya, ia tetap berniat untuk mempertahankan posisinya sebagai CEO Facebook. “Saya akan melakukan yang terbaik ke depannya, saya tidak akan melemparkan tanggung jawab kepada siapa pun atas kesalahan yang telah kami buat,” katanya dalam sesi tanya jawab dengan wartawan, beberapa saat sebelum menuju Kongres.
Kesaksian Mark di Kongres akan berdampak bagi masa depan perusahaan. Sebab, Kongres tengah berencana membuat Undang-Undang (UU) yang secara ketat mengatur media sosial, termasuk Facebook.
Guna mengantisipasi kemungkinan tersebut, Zuckerberg menyampaikan bahwa aturan yang ketat terkait penggunaan data bisa memengaruhi kemampuan Facebook untuk menarik pendapatan iklan. Yang mana, itu merupakan sumber kehidupan Facebook. Padahal, saham Facebook sudah merosot 17% sejak Januari lalu.
Zuckerberg mengatakan, perusahaannya akan mengharuskan pengiklan politik memberikan informasi mendetail tentang identitasnya. Ini dilakukan guna mengantisipasi terulangnya insiden kebocoran data. Facebook pun sudah mengembangkan alat baru yang memungkinkan pengguna melihat semua iklan.
(Baca juga: Pemerintah Cermati Keamanan Data Nasabah Fintech dan E-Commerce)
Sebelumnya, Facebook mengakui bahwa terdapat 87 juta data yang dimungkinkan disalahgunakan oleh Cambridge Analytica di seluruh dunia. Dari jumlah itu, 70,63 juta pengguna (81,6%) yang datanya disalahgunakan berasal dari Amerika Serikat.
Di peringkat kedua, data pengguna Filipina yang bocor mencapai 1,175 juta atau 1,4% dari total kebocoran data. Sementara Indonesia di peringkat ketiga dengan jumlah 1,096 juta atau sekitar 1,3% dari total kebocoran. Selain itu ada juga data pengguna Inggris, Mexico, Kanada, India, Brazil, Vietnam, dan Australia yang datanya turut disalahgunakan.