Masalah Indonesia di Mata Fintech Australia
Bisnis financial technology (fintech) berkembang pesat di Indonesia. Namun, dilihat dari kaca mata pelaku fintech Australia, ada beberapa masalah pada sektor ini, misalnya soal banyaknya warga yang tak memiliki rekening bank (unbanking) dan keamanan data.
Founding Partner Financial Technology (FinTech) Australia Simon Cant menyatakan, sebanyak 80 juta penduduk Indonesia yang tidak memiliki rekening bank masih ada tantangan. "Kami pikir, kalau Indonesia fokus pada finansial inklusi, Indonesia bisa jadi seperti Cina dan Amerika Serikat (AS)," ujar dia usai acara Indonesia-Australia Digital Forum di EVHive, Jakarta, Rabu (31/1).
Ia mengaku sudah mempelajari pasar Indonesia. Dari hasil kajiannya itu, menurut dia, Indonesia merupakan pasar yang potensial. Pertumbuhannya cepat, dinamis, dan kompetitif. Sayangnya, ia juga melihat ada tantangan dari sisi kerahasiaan data.
"Data bisa mengalir antar perusahaan dan tidak mengindahkan privasi. Kami ingin data terlindungi, tetapi tetap bisa mengalir," ujar dia. (Baca juga: Suntik Go-Jek Rp 16 Triliun, Google Pacu Ekonomi Digital Indonesia)
Di lain sisi, Wakil Sekretaris Umum Asosiasi FinTech Indonesia (Aftech), Ari Awan pun menilai, data menjadi salah satu penyebab banyaknya masyarakat Indonesia yang belum tersentuh layanan perbankan. Menurut dia, Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) yang sudah berjalan sejak 2009, belum maksimal dimanfaatkan untuk industri keuangan. Bila itu bisa dimaksimalkan, bukan tidak mungkin know your costumer (KYC) secara digital bisa dijalankan.
Berdasarkan kajiannya ke beberapa negara, ada beberapa perusahaan fintech yang bekerja sama dengan startup khusus di bidang digital KYC. Alhasil, pembiayaan melalui fintech juga lebih luas. "Kami intens diskusikan digital KYC bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika," ujar Ari.
Dengan pemanfaatan e-KTP sebagai basis digital KYC, menurut dia akan ada lebih banyak masyarakat Indonesia yang bisa mengakses perbankan. Dengan begitu, masyarakat bisa mendapat modal usaha. Indonesia, kata dia, bisa meniru India yang sudah mulai menjalankan digital KYC. Sementara di Indonesia, Bank asal Singapura DBS melalui digibank sudah merilis e-KYC.
(Baca juga: BCA Bersiap Akuisisi Dua Bank Kecil di Semester I 2018)
"Yang jadi tantangan adalah security dan privacy. Dan digital KYC ini framework-nya seperti apa? Sekarang masih dikaji. Dan, isu sebenarnya adalah infrastruktur, terkait konektivitas juga susah," tutur Ari.
Dari sisi regulasi, BI sudah merilis Peraturan BI (PBI) Nomor 19 Tahun 2017 mengenai Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT). Melalui PBI tersebut, BI memperbolehkan fintech melakukan costumer due diligence (CDD) dengan teknologi informasi.
Direktur Eksekutif Kebijakan Publik Aftech, Ajisatria Suleiman menilai, peluang pertumbuhan industri tekfin di Indonesia masih terbuka lebar. Saat ini, ia mencatat ada 205 perusahaan tekfin yang aktif. Dari sisi teknologi, mayoritas masih menggunakan mobile, application programming interface (API), komputasi awan, analisa big data, dan online to offline (O2O).
Ia berharap, melalui kerja sama dengan Asosiasi FinTech Australia ini berharap ada pertukaran teknologi. "Kami harap kolaborasi ini akan mendorong perkembangan lingkungan usaha yang menguntungkan, sekaligus mendorong inklusi keuangan baik untuk dunia usaha maupun individual," kata dia.