Sopir Online di Inggris Jadi Karyawan, Bagaimana Peluang di Indonesia?
- Inggris, Italia, Spanyol, dan AS memutuskan bahwa pengemudi taksi online merupakan karyawan
- Pemerintah dan asosiasi pernah membahas potensi perubahan status pengemudi taksi dan ojek online menjadi karyawan
- Pengemudi taksi dan ojek online dinilai sulit menjadi pegawai, karena perusahaan seperti Gojek dan Grab di bawah aturan Kementerian Kominfo
Perusahaan penyedia layanan berbagi tumpangan (ride hailing) Uber mulai memberikan gaji kepada pengemudi taksi online di Inggris. Uber tunduk pada aturan yang memberlakukan status pengemudi bukan lagi mitra, melainkan karyawan. Bagaimana dengan driver taksi dan ojek online di Indonesia?
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung di Inggris pada bulan lalu, pengemudi taksi online merupakan karyawan. BBC melaporkan, tarik ulur pembahasan status driver online di Britania raya sejak 2016.
Pembahasan status itu mengemuka sejak dua mantan pengemudi James Farrar dan Yaseen Aslam menyeret Uber ke pengadilan ketenagakerjaan. Saat itu, Uber menyampaikan bahwa pengemudi merupakan mitra atau wiraswasta, sehingga perusahaan tak perlu membayar gaji tetap.
Kini, Mahkamah Agung Inggris memutuskan bahwa pengemudi taksi online merupakan karyawan. Uber pun sepakat menjadikan 70 ribu pengemudi sebagai pegawai, serta siap memberikan gaji dan uang pensiun.
"Ini peningkatan yang signifikan terkait standar kerja bagi pengemudi di Inggris. Tapi saya tahu, banyak pengamat tidak akan menepuk punggung kami karena mengambil langkah ini, yang terjadi setelah pertarungan hukum lima tahun,” kata Kepala Eksekutif Uber Dara Khosrowshahi dalam laporan Evening Standard, dikutip dari BBC, akhir pekan lalu (19/3).
Seminggu setelah putusan Mahkamah Agung Inggris, Italia mengambil keputusan serupa. Sebelumnya, Spanyol dan California, Amerika Serikat (AS) lebih dulu menetapkan kebijakan bahwa pengemudi taksi online merupakan pegawai.
Di Indonesia, terdapat pengemudi taksi dan ojek online. Ketua Umum ADO Taha Syafariel mengatakan, operasional pengemudi sebagai mitra diatur oleh perusahaan. Beberapa perusahaan penyedia layanan on-demand yakni Gojek, Grab, Bonceng, dan Maxim.
“Kalau tidak patuh, perusahaan langsung mendisiplinkan lewat aplikasi. Ini membuat pengemudi sulit menerima order,” kata Taha kepada Katadata.co.id, Selasa (23/3). “Kalau penumpang tidak puas, bisa mengadu dan akun mitra ditangguhkan (suspend).”
Oleh karena itu, ADO berharap pengemudi taksi dan ojek online di Indonesia bisa menjadi karyawan. Taha mengatakan, asosiasi pernah mengkaji potensi ini.
“Tetapi, kami bisa membayangkan akan sulit karena (sepertinya) tidak dapat dukungan banyak pihak,” ujar dia.
Sedangkan di Inggris, pengemudi taksi online termasuk dalam pekerja di sektor transportasi, sehingga dikategorikan sebagai buruh. “Hak-hak mereka (buruh) sangat dihargai di Inggris,” kata dia.
Menurut dia, putusan Mahkamah Agung di Inggris dan negara lainnya bisa menjadi rujukan. “Tetapi akan melalui proses yang panjang. Selain itu, sistem algoritme aplikasi (di Inggris) itu yang menyebabkan tuntutan dikabulkan,” ujarnya.
Dalam hal ini, hakim bisa menerapkan prinsip yurisprudensi, yang merupakan salah satu sumber hukum selain undang-undang. Yurisprudensi adalah putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh hakim dalam memutus suatu perkara atau kasus yang sama.
Ketua Presidium Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Igun Wicaksono berharap, pengemudi ojek online di Tanah Air bisa menjadi karyawan. Ia usul agar perusahaan aplikasi membuat dua skema yakni mitra dan karyawan.
Ia mencontohkan, pengemudi yang menjadi mitra selama satu atau dua tahun dengan prediksi baik atau tanpa banyak keluhan, maka bisa mengajukan diri menjadi karyawan. “Ini agar kesejahteraan dan jaminan bekerja terjamin dengan adanya sistem pengupahan karyawan,” kata dia kepada Katadata.co.id.
Apalagi, UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak mengatur hubungan kerja berupa mitra. Alhasil, perlindungan dan kesejahteraan mitra pengemudi tak diatur di UU ini.
Sejauh ini, aturan terkait ojek online diatur dalam Peraturan Menteri Hubungan (Permenhub) Nomor 12 Tahun 2019. Regulasi ini memuat tentang tarif hingga standar operasional dan prosedur (SOP) dalam penghentian operasional sementara (suspend) dan putus mitra terhadap pengemudi.
Sedangkan taksi online diatur melalui Permenhub Nomor 118 Tahun 2018. Ini juga mengatur mengenai tarif, promosi hingga pembekuan akun mitra pengemudi.
Katadata.co.id sudah meminta konfirmasi kepada Gojek dan Grab terkait potensi status mitra pengemudi berubah menjadi karyawan. Namun, belum ada tanggapan hingga berita ini dirilis.
Grab | Gojek | |
Cakupan* | 8 negara | 4 negara |
Mitra pengemudi | 9 juta (keseluruhan) | 2 juta |
Mitra penjual | 900 ribu | |
Jumlah unduhan | 205 juta kali | 190 juta kali |
Pengguna aktif bulanan | - | 38 juta |
Valuasi | US$ 14 miliar | US$ 10,5 miliar |
Sumber: Gojek, Grab, CB Insights (per akhir 2020)
Selain itu, Katadata.co.id telah menghubungi Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terkait hal itu. Namun, keduanya juga belum memberikan tanggapan.
Meski begitu, mantan Menteri Kominfo Rudiantara sempat menjelaskan bahwa status pengemudi taksi ataupun ojek online tergantung pada ekosistem layanan. “Tergantung model bisnis yang mau dipakai dan ekosistemnya,” kata dia di Jakarta, September 2019 (20/9/2019).
Di Indonesia, Gojek dan Grab merupakan pengembang aplikasi super (superapp). Alhasil, layanannya bukan hanya berbagi tumpangan, tetapi juga logistik, pesan-antar makanan, fintech hingga konten digital.
Oleh karena itu, kedua decacorn tersebut disebut sebagai perusahaan aplikasi, bukan transportasi.
Sedangkan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setyadi pernah mengatakan, wacana mengubah status pengemudi taksi dan ojek online dari mitra menjadi karyawan pernah dibahas. Rencana ini muncul karena Gojek dan Grab merekrut banyak mitra.
Kementerian pun membahas potensi perubahan status itu ketika merancang peraturan tentang taksi online pada 2017. Aturan itu kemudian dicabut oleh Mahkamah Agung (MA).
Lantas, hal itu dibahas lagi saat Kemenhub mengkaji Permenhub Nomor 118 Tahun 2018. “Saat itu pernah diwacanakan. Kalau merekrut (mitra pengemudi) seperti menarik karyawan. Itu sudah dibahas, tapi tidak bisa,” katanya kepada Katadata.co.id, September 2019 lalu.
Alasan hal itu tidak bisa diatur, karena Gojek dan Grab bukan murni perusahaan transportasi. Kedua startup bervaluasi lebih dari US$ 10 miliar itu merupakan penyedia layanan on-demand. Oleh karena itu, bisnis mereka berada di bawah naungan Kementerian Kominfo.