SoftBank Diramal Kehilangan Rp 271 Triliun, karena Zombi Unicorn?
Investor Grab yakni SoftBank diprediksi kehilangan US$ 18,6 miliar atau sekitar Rp 271 triliun atas portofolio publik pada kuartal yang berakhir 31 Maret. Ini terjadi di tengah fenomena ‘zombi unicorn’ di Silicon Valley, Amerika Serikat (AS).
Unit bisnis di bidang investasi milik SoftBank yaitu Vision Fund akan mengumumkan kinerja besok (12/5). Perusahaan ini diperkirakan kehilangan sekitar US$ 18,6 miliar pada portofolio publiknya.
Jika benar, maka jumlahnya lebih besar dari rekor US$ 18,3 miliar pada kuartal kedua tahun lalu, menurut analis di Redex Research Kirk Boodry. Ini berarti kerugian untuk unit Vision Fund sekitar US$ 10 miliar, dihitung dari setiap dana SoftBank.
“Ini tidak normal. Investor, pasar mulai khawatir,” kata Boodry dikutip dari Bloomberg, Rabu (11/5). “Ketika berbicara tentang skala atau potensi kerugian, pasar tampaknya secara umum membuat lebih banyak penurunan.”
Padahal, SoftBank merupakan salah satu perusahaan investasi terbesar di dunia, sebagaimana terlihat pada Databoks di bawah ini:
Vision Fund kehilangan uang pada 32 dari 34 portofolio yang sudah IPO selama kuartal terakhir, menurut analis Nomura Securities Co Daisaku Masuno. Itu termasuk Coupang Korea Selatan (US$ 5,4 miliar), Grab Holdings Ltd. Singapura (US$ 2,4 miliar), Didi China (US$ 2,4 miliar), Paytm India (US$ 1,3 miliar) dan DoorDash Inc. AS (US$ 1,1 miliar).
Kerugian yang belum direalisasi dalam portofolio publik berada di kisaran US$ 37 miliar hingga US$ 38 miliar untuk tahun fiskal 2021, menurut Boodry. Secara keseluruhan, perusahaan portofolio publik Vision Fund turun lebih dari 50% dari level tertinggi sepanjang masa.
Kedua Vision Funds milik SoftBank terpukul keras oleh jatuhnya valuasi perusahaan teknologi saat suku bunga global naik. Di Amerika, harga saham unicorn di Silicon Valley pun anjlok dan bahkan beberapa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.
Penurunan harga saham perusahaan teknologi di Silicon Valley anjlok setelah bank sentral AS, The Fed menaikkan suku bunga acuan 50 basis poin (bps). Investor beralih ke saham atau investasi lain karena kinerja beberapa unicorn di wilayah ini dinilai buruk.
Mereka pun disebut ‘zombi unicorn’. Dikutip dari NBC News, frasa ini merujuk pada startup dengan valuasi jumbo, tetapi goyah dan membutuhkan investor untuk bertahan hidup.
Silicon Valley adalah pusat inovasi di Amerika yang mencetak banyak perusahaan teknologi raksasa seperti Apple, Facebook, Google, Netflix, Tesla, Twitter hingga Yahoo. Letaknya di selatan San Francisco, California, AS. Wilayah ini menampung sekitar 2.000 perusahaan teknologi.
Meski begitu, Bloomberg melaporkan bahwa kebijakan di Korea Selatan dan Cina menjadi salah satu hambatan terbesar bagi Vision Fund. Harga saham perusahaan di bawah SoftBank turun masing-masing 40% dan 50% di bursa efek di kedua negara tersebut.
Cina memang mengeluarkan sejumlah aturan baru yang memperketat gerak raksasa teknologi di negara tersebut.
Kerugian terbesar Vision Fund hingga saat ini 825,1 miliar yen. Ini terjadi sejak kuartal kedua 2021 ketika pasar saham global jatuh.
Unit SoftBank tersebut kemudian mendapatkan kembali profitabilitas 109 miliar yen dalam tiga bulan yang berakhir pada 31 Desember.
Nasib unit bisnis SoftBank itu dinilai bergantung pada bagaimana induk menandai nilai dari sejumlah besar kepemilikan sahamnya. Ini termasuk induk TikTok, ByteDance Ltd. dan OYO Hotels India.
“Ada visibilitas yang jauh lebih sedikit pada bagian portofolio ini, terutama di Vision Fund 2 di mana banyak dari investasi ini lebih kecil atau pada tahap lebih awal,” tulis Boodry dalam catatan kepada investor. Namun, “SoftBank kemungkinan akan mengalami kerugian yang berarti dalam portofolio pribadi.”
Sedangkan analis dari Asymmetric Advisors Amir Anvarzadeh menilai, kinerja Vision Funds SoftBank dipengaruhi oleh penurunan valuasi perusahaan teknologi. Kurangnya transparansi mengenai berapa banyak aset dana yang dijaminkan adalah faktor lain yang memicu kecemasan pasar.
“Seluruh struktur bisnis SoftBank bergantung pada satu asumsi utama dan itu adalah harga saham yang terus meningkat, khususnya di saham teknologi, yang memimpin aksi jual pasar saat ini,” tulis Amir dalam catatan.