Startup Ini Ungkap Rahasia SuperApp yang Kini Mulai Ditinggalkan
SuperApp seperti Gojek, Grab, dan Bukalapak sempat tren sebelum pandemi corona. Namun kini startup mulai berfokus mengejar keuntungan.
Co-Founder sekaligus Chief Operations Officer Xendit Tessa Wijaya bercerita, sekitar dua tahun lalu, sebagian besar startup ingin menjadi superapp. “Kami ingin melakukan apa saja sendiri. Tidak ada gunanya bekerja sama. Kita akan mengambil alih dunia,” kata dia dalam Bloomberg CEO Forum at Asean, Rabu (6/9).
Namun kini startup berfokus mengejar keuntungan di tengah ketatnya pendanaan. Perusahaan rintisan pun mulai membuka peluang kerja sama dengan startup lain.
Menurutnya, perubahan itu lebih baik ketimbang membuang banyak uang hanya untuk mendapatkan pasar tanpa memiliki gagasan yang jelas tentang apa yang harus dilakukan.
“Di dunia baru ini, harus lebih sadar di mana menaruh uang,” ujar Tessa. Dengan begitu, startup bisa lebih berfokus menyelesaikan masalah pelanggan dan lebih disiplin dalam menanganinya.
Meski begitu, Ketua Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia atau Amvesindo Eddi Danusaputro mengatakan, selama ruang memori pada smartphone masih menjadi perhitungan seseorang dalam membeli gawai, maka tren superapp akan terus muncul.
“Di Asia di mana storage space menjadi salah satu pertimbangan utama dalam membeli handphone atau HP, maka superapp bisa tumbuh subur,” kata Eddi kepada Katadata.co.id, pada Juli (31/7).
Sementara di ‘negara Barat’ seperti Amerika dan Eropa, para pengguna lebih senang jika data pribadi mereka tidak dikuasai oleh satu perusahaan atau superapp.
Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani juga menilai, superapp akan tetap menjadi aset untuk disinergikan dengan berbagai macam layanan yang bersinggungan atau relevan terhadap tipe pelanggan.
“Namun strategi membuat superapp lalu bisa menciptakan layanan yang langsung menguntungkan, itu belum tentu,” kata Edward kepada Katadata.co.id.