Rupiah dan IHSG Rontok Imbas Perang Tarif Impor, Startup Harus Apa?


Indeks Harga Saham Gabungan alias IHSG dan nilai tukar rupiah melemah pada perdagangan 8 - 9 April, salah satunya karena faktor perang tarif impor. Apa dampaknya terhadap startup? Dan, bagaimana perusahaan rintisan menyikapi kondisi ekonomi saat ini?
General Partner Braxton Capital Edward Ismawan menyampaikan perang tarif impor, serta dampaknya terhadap pelemahan rupiah dan IHSG, bisa membuat minat investasi asing ke startup semakin tertekan.
“Paparan terhadap depresiasi mata uang, gangguan pada rantai pasokan global, serta koreksi di pasar modal merupakan tantangan utama yang Indonesia hadapi sehubungan dengan Tarif Dagang Trump,” kata Edward kepada Katadata.co.id, Rabu (9/4).
Menurut dia, startup harus berfokus pada pengelolaan kas dan memastikan adanya dana cadangan yang cukup untuk menghadapi situasi ekonomi yang tidak menentu.
Ia mengatakan investor, termasuk modal Ventura, menjadi lebih selektif dalam memberikan pendanaan di tengah situasi ekonomi saat ini.
"Strategi kunci yang perlu dipertahankan modal ventura yakni selektif dalam berinvestasi kepada sektor-sektor startup yang memiliki ketahanan cukup kuat terhadap pengaruh depresiasi mata uang, ketergantungan pada rantai pasokan global, serta 'timing' untuk IPO yang tepat," katanya.
Modal ventura juga dapat menjajaki peluang untuk menarik investor strategis guna memperoleh likuiditas, melalui penjualan saham sekunder atau melakukan merger dan akuisisi. "Ini merupakan opsi strategis yang perlu dipertimbangkan," Edward menambahkan.
Menurut dia, beberapa sektor startup yang cenderung memiliki ketahanan lebih baik terhadap kondisi ekonomi saat ini di antaranya teknologi finansial alias fintech, pendidikan, kesehatan, dan pertanian. Akan tetapi, tetap mempertimbangkan aspek manajemen risiko yang efektif.
Di sisi lain, sektor perdagangan secara umum, termasuk e-commerce lintas-batas dan komponen hardware serta teknologi terkait, mungkin mengalami kesulitan karena gangguan pada rantai pasokan dan potensi depresiasi atau fluktuasi nilai mata uang.
Investasi ke Startup Indonesia Anjlok
Laporan DealStreetAsia menunjukkan jumlah kesepakatan pendanaan startup di Indonesia turun 34% secara tahunan atau year on year (yoy) menjadi 85 pada 2024. Nilai investasinya juga turun 66% menjadi US$ 437,8 juta atau Rp 7,23 triliun (kurs Rp 16.520 per US$).
Penurunan investasi ke startup di Indonesia merupakan yang terdalam di antara enam negara di Asia Tenggara yang diteliti oleh DealStreetAsia dalam laporan ‘Data Vantage’. Kontribusi Indonesia pun menurun dalam tiga tahun terakhir, yakni:
- 2021: 40,3%
- 2022: 22%
- 2023: 16,3%
- 2024: 9,6%
Penurunan pendanaan terjadi di seluruh tahapan, yakni:
- Seri C dan seterusnya: turun dari 33 transaksi pada 2021, menjadi empat tahun lalu. Nilainya melorot dari US$ 7,51 miliar menjadi US$ 71,2 juta. Ini merupakan yang terlemah dalam enam tahun terakhir.
- Tahap akhir: 21 transaksi dengan total dana US$ 1,23 miliar. Ini merupakan yang terkecil dalam enam tahun terakhir
- Transaksi di atas US$ 100 juta: tidak ada sama sekali pada 2024, dibandingkan dua pada 2023 dan tujuh pada 2022
- Transaksi kisaran US$ 2,5 juta – US$ 5 juta: porsinya bertambah menjadi 21% dari keseluruhan volume transaksi
- Transaksi maksimal US$ 1 juta: porsinya juga bertambah menjadi 30%
“Dengan minimnya pendanaan tahap akhir dan tekanan yang terus berlanjut pada valuasi perusahaan rintisan, Indonesia gagal menghasilkan perusahaan rintisan berstatus unicorn untuk pertama kalinya dalam enam tahun,” demikian dikutip dari DealStreetAsia pada Januari.
Unicorn terbaru Indonesia yakni eFishery pada 2023. Namun startup perikanan ini menghadapi penyelidikan terkait dugaan fraud atau kecurangan sejak akhir tahun lalu.
Dari sisi sektor, teknologi finansial atau fintech menyalip e-commerce sebagai industri yang mendapatkan investasi terbanyak tahun lalu. Rinciannya yakni:
- 2021: 47
- 2022: 41
- 2023: 22
- 2024: enam
Laporan tersebut menyoroti bahwa penataan ulang sektor e-commerce Indonesia didorong oleh tekanan ekonomi makro, termasuk menyusutnya kelas menengah dan meningkatnya inflasi di kota-kota tier pertama dan kedua.
“Tantangan-tantangan ini diperparah oleh dinamika sektor internal, karena para pelaku usaha yang mapan menghadapi kesulitan dalam menunjukkan model bisnis yang berkelanjutan,” demikian dikutip.
IHSG dan Rupiah Rontok
Rupiah terdepresiasi 0,33% ke level 16.943 per dolar Amerika pada perdagangan Rabu (9/4). Sementara itu, IHSG anjlok 7,71% ke level 6.008 pada sesi pertama perdagangan Selasa (8/4), bahkan sempat terkena pembekuan perdagangan sementara setelah turun hingga 9,19% ke level 5.912 pada pukul 09.00 WIB.
Selain itu, ketidakpastian dalam perdagangan global menyebabkan volatilitas tinggi pada nilai tukar mata uang, termasuk rupiah, yang berdampak langsung pada biaya operasional perusahaan di berbagai sektor.
Hal itu terjadi setelah Presiden Amerika Donald Trump mengenakan tarif impor minimal 10% untuk semua negara dan tarif resiprokal alias timbal balik terhadap ratusan negara.
Cina yang mendapatkan tarif impor 54% pun membalas kebijakan tersebut. Kementerian Keuangan Tiongkok mengatakan akan mengenakan tarif impor 34% untuk produk asal Amerika mulai 10 April.
Presiden AS Donald Trump kembali membalas dengan mengenakan tarif tambahan mencapai 104% terhadap semua impor barang dari Cina mulai Rabu (9/4). Tarif ini berlaku di atas tarif Tiongkok yang telah berlaku sebelum masa jabatan kedua Trump.
"Negara-negara seperti Tiongkok, yang memilih untuk membalas dan mencoba menggandakan perlakuan buruk mereka terhadap pekerja Amerika, telah melakukan kesalahan," kata Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt seperti dikutip dari CNN, Rabu (9/4).
Menurut dia, Cina ingin membuat kesepakatan dengan AS, tetapi tak paham bagaimana melakukannya. Ia menolak untuk menjelaskan persyaratan yang dipertimbangkan Trump untuk menurunkan tarif terhadap barang-barang Cina.