Ingin Kuasai Pasar di Masa Depan, AS dan Tiongkok Bersaing Ketat di 6G
Pemerintah Indonesia masih mengkaji penerapan jaringan internet generasi kelima alias 5G. Sedangkan Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) semakin ketat bersaing di teknologi 6G.
Direktur industri teknologi informasi dan komunikasi Frost and Sullivan di AS Vikrant Gandhi mengatakan, kedua negara berlomba-lomba mengembangkan dan mematenkan 6G karena potensinya besar. Teknologi ini juga diprediksi menguasai revolusi industri berikutnya.
"Kemungkinan persaingan untuk kepemimpinan 6G akan lebih sengit daripada 5G," kata Gandhi dikutip dari The Star, Minggu (14/2).
AS mengkaji pengembangan 6G sejak 2019. Saat itu, mantan Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa Negeri Paman Sam bakal mengadopsi 6G sesegera mungkin.
Pengembang standar telekomunikasi AS atau Alliance for Telecommunications Industry Solutions (ATIS) kemudian meluncurkan Next G Alliance terkait 6G. Raksasa teknologi seperti Apple Inc, AT&T Inc, Qualcomm Inc, Google, dan Samsung Electronics Co masuk dalam aliansi ini.
Selain mengembangkan 6G, AS menekan industri 5G Tiongkok. Caranya, dengan memblokir layanan 5G Huawei dan mendorong negara-negara di Eropa untuk melakukan hal serupa.
Gandhi memperkirakan, langkah itu juga diterapkan dalam hal 6G. "AS tidak akan membiarkan peluang kepemimpinan generasi 6G didapat negara lain dengan mudah," katanya.
Sedangkan kepala di bagian akses dan perangkat Bell Labs Peter Vetter menilai, AS dan Tiongkok kompetitif dalam pengembangan 6G. "Upaya ini sangat penting sehingga menjadi perlombaan ‘senjata’ sampai batas tertentu," kata dia.
Tiongkok pun telah meluncurkan satelit eksperimental 6G pertama di dunia pada tahun lalu di Taiyuan Satellite Launch Centre, Provinsi Shanxi. Ini bertujuan membuat ultra-fast network yang 100 kali lebih cepat dibanding 5G, yang rencananya dapat digunakan pada 2030.
Peluncuran satelit 6G ke orbit itu merupakan proyek kerja sama University of Electronic Science and Technology of China (UESTC), Chengdu Guoxing Aerospace Technology, dan Beijing MinoSpace Technology.
Salah satu akademisi dari Chinese Academy of Engineering Xu Yangsheng mengatakan, proyek itu akan menggabungkan jaringan komunikasi satelit dengan yang ada di darat. “Satelit eksperimental ini menandai pertama kalinya teknologi komunikasi terahertz didiverifikasi ketika diterapkan di luar angkasa,” katanya dikutip dari Daily Mail, tahun lalu (13/11/2020).
Wakil Menteri Biro Teknologi Tiongkok Wang Xi menyatakan, pihaknya akan bekerja sama dengan para ahli dalam merancang rencana penelitian untuk 6G. Biro Teknologi juga telah menggandeng 37 ahli telekomunikasi dari universitas, institusi, dan perusahaan untuk membentuk panel pengembangan 6G serta melakukan uji kelayakan pada jaringan.
Di saat yang sama, beberapa perusahaan telekomunikasi Tiongkok seperti Huawei, ZTE, Xiaomi, dan China Telecom memulai penelitian jaringan 6G. Bahkan, Xiaomi berencana memfokuskan sumber daya mereka pada pembuatan ponsel 5G, sembari mengembangkan 6G.
"Saat ini Tiongkok tampaknya melakukan segalanya untuk memastikan bahwa mereka tidak kehilangan pasar masa depan," kata penasihat senior European Policy Center Paul Timmers.
Teknologi 6G yang diperebutkan kedua negara itu memiliki kecepatan 100 kali lebih cepat dibandingkan 5G. Kemampuan unduh mencapai satu terabyte per sekon (Tbps) atau sekitar 142 jam film dalam sedetik.
Generasi | 2G | 3G | 3G HSPA+ | 4G | 4G LTE | 5G | 6G |
Kecepatan maksimum | 0,3 Mbps | 7,2 Mbps | 42 Mbps | 150 Mbps | 300 Mbps- 1 Gbps | 1-10 Gbps | 1 TBps |
Kecepata rata-rata | 0,1 Mbps | 1,5 Mbps | 5 Mbps | 10 Mbps | 15-50 Mbps | 50 Mbps and up | n/a |
Sumber: Phone Arena
Gelombang sinyal 6G menempati pita spektrum 300GHz hingga 3 terahertz. Frekuensi itu lebih tinggi ketimbang 5G yang berada di antara 30-300GHz. Sedangkan kecepatan berbanding lurus dengan spektrum frekuensi.
Selain itu, 6G menjanjikan latensi yang jauh lebih rendah yakni 0,1 milidetik. Sedangkan tingkat keterlambatan pengiriman data 5G sekitar satu milidetik.
Dengan kemampuan itu, negara yang mengadopsi 5G atau 6G bisa menghadirkan berbagai teknologi baru seperti hologram, augmented reality (AR), atau virtual reality (VR).
Namun, Profesor riset di National Astronomical Observatories dari Chinese Academy of Sciences (CAS) dan Kepala Ilmuwan dari Tiongkok-Argentina Radio Telescope Li Jinzeng mengatakan, ada banyak teleskop yang bergantung pada spektrum frekuensi yang ditempati oleh 6G.
Teleskop itu digunakan untuk memeriksa kondisi alam semesta. Oleh karena itu, Jinzeng khawatir 6G akan mengganggu pengamatan astronomis.
Selain itu, 6G dikhawatirkan berdampak pada fisiologis akibat radiasi elektromagnetik. Itu karena jangkauan gelombang frekuensi 6G pendek, sehingga operator perlu memasang antena mini cell secara berdekatan di banyak tempat supaya sinyalnya tidak terhalang.
Lembaga non-profit asal Inggris, principia-scientific menjelaskan bahwa setiap operator perlu membangun base transceiver station (BTS) dengan jarak 100 meter di satu wilayah. Oleh karena itu, operator perlu mendirikan lebih banyak BTS dan berdekatan.
Untuk menyediakan layanan 5G atau 6G, operator juga perlu membangun pangkalan yang berisi antena mini cell. Antena ini akan memancarkan sinyal supaya bisa terhubung dengan BTS dan perangkat pengguna.
Sedangkan setiap stasiun pangkalan berisi ratusan hingga ribuan antena mini cell. Oleh karena itu, teknologi seperti 5G atau 6G dianggap berbahaya karena radiasinya.
Namun, "para kritikus mengatakan tidak ada penelitian mendalam terkait dampak 5G bagi kesehatan. Walaupun WHO mencantumkan sinyal seluler sebagai karsinogen (penyebab kanker) potensial, begitu juga dengan acar sayuran dan kopi," demikian dikutip dari CNET, 2019 lalu (21/6/2019).
Sedangkan Wakil Direktur Eksekutif Pusat Big Data Beijing Institute of Genomics CAS Zhang Zhang juga mengatakan, ada dua masalah utama penerapan 6G yakni soal keamanan data dan biaya. "Dengan 6G, kami mungkin mentransmisikan begitu banyak data dengan sangat cepat sehingga kami gagal melihat adanya kebocoran kecil atau risiko keamanan (data)," ujarnya.
Di satu sisi, layanan 6G dianggap terlalu mahal. “Maka, penyandang dana dan pembuat kebijakan harus menyeimbangkan biaya dan manfaat, serta menyesuaikan teknologi dengan kebutuhan pengguna,” ujar Zhang.