Akses Digital Bagi Perempuan Indonesia Masih Timpang
Era disrupsi teknologi digital yang berlangsung secara bersamaan dengan pandemi Covid-19 mengakibatkan tingginya pemanfaatan teknologi digital di hampir semua lini kehidupan. Saat terjadi pembatasan ruang gerak dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat beralih melakukan berbagai jenis aktivitas dengan memanfaatkan aneka layanan berbasis digital.
Sayangnya, di tengah meningkatnya ketergantungan berbagai elemen pada solusi teknologi informasi dan telekomunikasi (TIK) seperti saat ini, terdapat ketimpangan digital yang dihadapi perempuan Indonesia. Seperti ketersediaan akses internet, derajat literasi digital, serta kemampuan menggunakan perangkat teknologi.
Hal itu diungkapkan oleh Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Sugeng Bahagijo, dalam seminar nasional hasil riset dan policy brief bertajuk Peran Organisasi Masyarakat Sipil dalam Mendorong Kesetaraan Gender dalam Demokrasi Indonesia di Era Digital pada September lalu.
Berdasarkan data Susenas (2019), akses internet untuk kaum perempuan secara konsisten mengalami kesenjangan selama periode 2016 hingga 2019. Pada tahun 2016, selisih pengguna internet perempuan lebih sedikit 7,6% dibandingkan laki-laki, lalu bergeser menjadi 7,04% pada 2017, selanjutnya 6,34% pada 2018, dan 6,26% pada 2019.
“Ketimpangan juga muncul pada jumlah pengguna komputer di Indonesia. Pada 2019, jumlah perempuan pengguna komputer hanya 13,77%, sedangkan laki-laki mencapai 15,17%,” kata Sugeng.
“Perbedaan ini salah satunya disebabkan oleh adanya ketimpangan upah antara pekerja perempuan dan laki-laki, yang berada pada kisaran Rp 250 ribu sampai Rp 500 ribu—menurut BPS dalam Laporan Perekonomian 2019,” ucapnya lagi.
Mengacu pada hasil riset INFID, perempuan yang masuk kategori rentan dan marjinal di Indonesia kerap terbentur hambatan mental dalam hal penguasaan teknis dan keterampilan teknologi digital, antara lain karena adanya pelabelan bahwa TIK adalah ranah laki-laki, perasaan rendah diri, kecemasan terhadap teknologi, dan tidak adanya keberanian untuk bertanya mengenai hal-hal yang terkait dengan TIK.
Tantangan lain yang dihadapi perempuan adalah adanya hambatan kultural berupa rendahnya kemampuan literasi dasar yang berlanjut pada lemahnya literasi digital, ketiadaan waktu karena beban kerja ganda, budaya patriarki yang termanifestasi dalam pelabelan gender, pembagian kerja berdasarkan gender, dan subordinasi perempuan dalam keluarga.
Berbagai ketimpangan dan hambatan yang dihadapi perempuan pantang diabaikan apabila Indonesia masih bertekad menggapai “Visi Indonesia 2045”. Salah satu hal yang menjadi syarat terwujudnya target tersebut—menurut Bappenas, adalah terciptanya manusia Indonesia yang unggul dan berbudaya, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kesetaraan gender di dunia digital juga merupakan bagian dari cita-cita global dalam rumusan Sustainable Development Goals (SDGs) per tahun 2030. Berbagai penelitian pun telah membuktikan bahwa ada korelasi erat antara pemberdayaan perempuan dalam bidang TIK dengan peningkatan kualitas kesejahteraan di suatu negara.
Hal ini sedikit banyak telah terbukti dalam kehidupan keseharian masyarakat di masa pandemi. Kaum perempuan di banyak keluarga telah membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi motor penggerak UMKM dan menciptakan ketahanan ekonomi keluarga ketika perekonomian nasional sedang lesu—bahkan turun kelas dari upper middle income pada 2020 ke lower middle income country pada 2021.
Tenaga Ahli Menteri Kominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa Devie Rahmawati menyatakan, sebagai bukti komitmen pada terciptanya kesetaraan gender digital melalui pendekatan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM), Kominfo tengah membangun based transceiver station (BTS)—dengan target total 9.586 BTS terbangun dan beroperasi hingga 2024. Tak hanya itu, Kominfo juga mengembangkan inisiatif Gerakan Nasional Literasi Digital dengan tujuan membangun SDM digital Indonesia.
Devie juga berpendapat bahwa “perempuan merupakan pusat episentrum dalam keluarga. Ketika perempuan telah berdaya dan cakap digital, maka anggota keluarga lainnya juga akan ikut terpapar karena perempuan memiliki kemurahan hati dan keluasan energi untuk membagikan ilmunya,” kata Devie.
Adanya komitmen dari pemerintah ditambah kolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil (OMS) diharapkan bisa selekasnya mengentaskan kesenjangan gender dalam mengakses, mengoperasikan, dan menikmati manfaat dari kemajuan TIK di era digital ini.
Kontributor: Petty Lubis