Kehadiran Starlink Elon Musk Dikhawatirkan Ancam Keamanan Indonesia
Starlink milik Elon Musk akan mulai menyediakan layanan internet cepat berbasis satelit di Ibu Kota Nusantara atau IKN pada Mei. Praktisi khawatir, kehadiran perusahaan asal Amerika ini di Indonesia bakal mengancam keamanan negara.
Aerospace engineer dan praktisi teknologi kedirgantaraan Dr Dipl. Ing. Lilly S. Wasitova menyampaikan, India masih menolak kehadiran Starlink di negaranya. “Masuknya Starlink bisa menjadi faktor keamanan dan kedaulatan India menjadi rentan,” katanya dalam keterangan pers, Kamis (26/4).
Ia yakin bahwa pemerintah India sudah melakukan kajian mendalam, sehingga menolak kehadiran internet berbasis satelit milik Starlink.
“Tidak bisa disamakan kepentingan negara dengan kepentingan entitas bisnis,” kata dia. “Saya berharap Indonesia sebagai negara berdaulat dapat mencontoh India dalam mempertahankan keamanan dan kedaulatan ketika Starlink hadir langsung untuk melayani masyarakat.”
Ia berharap, pemerintah melindungi Indonesia dari potensi ancaman kedaulatan dan kemaslahatan rakyat dari upaya-upaya yang merugikan Negara.
“Selain itu, karena sistem dan data yang ada tidak berada di wilayah kedaulatan, Starlink masuk ke wilayah sejatinya sudah membuka kerentanan terhadap keamanan suatu negara,” ujar dia.
“Wahana ruang angkasa itu seolah-olah senyap dan terlihat kasat mata, namun punya potensi ancaman keamanan serta kedaulatan suatu negara,” ia menambahkan.
Lilly prihatin dengan rencana pemerintah untuk mempergunakan Starlink pertama kali di IKN atau calon ibu kota Indonesia yang dinilai sangat strategis.
Menurut Lilly, Kominfo seharusnya melakukan kajian mendalam tentang kebutuhan layanan telekomunikasi menggunakan satelit dan kajian keamanan nasional dapat dibuka terlebih dahulu ke publik.
Kajian itu penting untuk menakar kebutuhan telekomunikasi menggunakan satelit di Indonesia. Selain itu, bisa mengetahui ancaman terhadap ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan dapat diminimalisasi.
“Seharusnya Indonesia memiliki data mengenai kapasitas satelit yang dimiliki oleh perusahaan nasional,” kata Lily.
Menurut dia, sejauh ini kebutuhan telekomunikasi melalui satelit masih bisa dipenuhi oleh satelit dalam negeri. BAKTI Kominfo melalui PSN juga baru-baru ini meluncurkan satelit SATRIA yang memiliki kapasitas terbesar di Asia.
“Apakah sumber daya yang dimiliki perusahaan satelit nasional sudah dimanfaatkan secara optimal? Hitung dulu kebutuhan dan risiko keamanan,” ujar dia. “Jika sudah ada hitungan kebutuhannya, manfaatkan dulu sumber daya yang ada. Jika sudah tidak ada, boleh menggunakan sumber daya dari luar.”
Lily menilai, Indonesia saat ini membutuhkan pembenahan tata kelola industri telekomunikasi dan satelit nasional. “Indonesia masih rancu membedakan antara ranah G2G dan B2B. Leverage Starlink itu merupakan ranah B2B.”
Menurut dia, perkembangan satelit saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dahulu satelit hanya dikenal dengan satelit geostasioner dengan ukuran yang cukup besar dan kapasitas terbatas.
Satelit geostasioner kini sudah menggunakan teknologi High Throughput Satellite (HTS). Ada juga yang sudah meluncurkan satelit orbit bumi rendah alias Low Earth Orbit Satellite (LEO) yang memiliki latensi lebih rendah ketimbang geostasioner.