Survei: 67% Masyarakat Khawatir dengan Keamanan Siber dalam Digitalisasi
Sebanyak 67% masyarakat khawatir dengan keamanan siber dalam proses digitalisasi. Hal ini tercermin dalam survei Populix bertajuk Navigating Economic and Security Challenges in 2025.
“Meningkatnya ancaman siber membuat keamanan siber yang kuat menjadi sangat penting," kata Co-Founder dan CEO Populix, Timothy Astandu, dilansir dari siaran pers, Kamis (5/12).
Pembobolan dan peretasan data merupakan pemicu utama, kata dia, sedangkan sumber daya dan pengetahuan yang tidak memadai menjadi penghalang. "Motivasi berfokus pada perlindungan data sensitif, meskipun kesadaran akan ancaman yang terus berkembang masih kurang,” kata Timothy.
Laporan ini juga menunjukan publik sudah paham berbagai jenis ancaman siber. Urutan pertama ialah virus (82%), phishing email (75%), pornografi digital (65%), cyberbullying (63%), spyware (60%), ransomware (55%), hingga trojan (54%).
Dari angka ini, Timothy melihat publik sudah mulai termotivasi menjaga keamanan data sensitif, meski mereka tergolong masih awam. Hal ini bisa menjadi peluang bagi pemerintah dan pihak swasta untuk memberi edukasi hingga memberi solusi keamanan yang mudah dioperasikan.
Selain keamanan siber, 49% responden survei juga mengkhawatirkan keamanan kesehatan dari proses digitalisasi. Menurut Timothy, keamanan siber bisa berdampak signifikan pada berbagai aspek kehidupan. Misalnya, tekanan emosional, keamanan pribadi dan keamanan finansial, membatasi interaksi sosial, dan mempengaruhi keamanan pekerjaan di lingkungan profesional.
Lalu, sebanyak 47% responden khawatir atas kemampuan mereka untuk mempertahankan keamanan ekonomi. Mulai dari kehilangan pekerjaan atau turunnya kemampuan ekonomi. Hal ini terjadi di tengah meningkatnya beban hidup sekaligus konsumerisme yang didorong kemudahan belanja daring.
“Dibutuhkan campur tangan dari pemerintah untuk mengatasi kekhawatiran publik, salah satunya dengan menjaga stabilitas ekonomi tahun depan,” kata Timothy.