IBM Prediksi 1 Juta Aplikasi AI Baru di 2028, Swasta Diminta Beradaptasi Cepat
International Business Machines Corporation (IBM) memperkirakan akan muncul 1 juta aplikasi baru pada 2028 akibat penggunaan kecerdasan buatan generatif atau generative AI. Menyikapi hal ini, IBM mendorong sektor swasta agar lebih cepat mengadopsi AI agar tidak tertinggal dengan tren tersebut.
Senior Vice President Software IBM Rob Thomas menekankan pentingnya penggunaan AI dengan model bahasa kecil (Small Language Model/SLM). AI SLM mampu memproses, memahami, dan menghasilkan konten bahasa alami dengan cakupan lebih kecil.
“98% perusahaan secara global telah menggunakan teknologi komputasi awan saat ini, namun hanya separuh dari mereka yang mendapatkan pengembalian investasi dari penggunaan AI SLM,” kata Rob dalam acara Think Singapore 2025, Rabu (20/8).
Rob menjelaskan, adopsi AI memerlukan biaya besar dan harus dimulai dari eksperimen, uji coba, hingga otomasi beberapa proses di dalam organisasi. Tujuan utama penggunaan AI adalah memahami data yang dikumpulkan perusahaan, karena total data global yang tersentuh AI baru sekitar 1%.
“Pembukaan data terhadap AI akan membuka peluang seperti personalisasi pelanggan, optimasi biaya, dan peningkatan ketangguhan perusahaan. Penggunaan AI untuk mengolah data perusahaan akan menjadi wajah baru produktivitas di sektor swasta,” ujarnya.
Rob mencontohkan, penggunaan Lockheed Martin mampu meningkatkan produktivitas kegiatan operasi hingga 50%. Lockheed Martin merupakan produsen pesawat tempur seperti Hercules, F-16, dan F-35.
Sementara itu, Komatsu dapat memangkas waktu pengembangan aplikasi hingga 30% dengan mengintegrasikan program aplikasinya ke seluruh sistem komputasi awan.
“Dimungkinkan hari ini menciptakan nilai signifikan dengan memulai eksperimen terhadap implementasi AI di perusahaan,” kata Rob.
RI Masih Tahap Awal Dalam Adopsi AI
Merujuk riset Gartner, Indonesia masih berada pada tahap eksperimen awal dalam adopsi AI. Saat ini, penggunaan AI di Indonesia umumnya terbatas pada kegiatan sehari-hari, seperti chatbot dan asisten virtual.
Dalam hal framework pengembangan AI, Indonesia mayoritas menggunakan model publik dengan sedikit atau tanpa kustomisasi, yang disebut tahap taker. Contohnya asisten coding atau chatbot siap pakai seperti ChatGPT dan DeepSeek.
Tahap berikutnya adalah shaper, yakni mengintegrasikan model dengan data dan sistem internal untuk menghasilkan sistem yang lebih kustom, misalnya chatbot customer service yang menyesuaikan dengan riwayat percakapan dan pengetahuan spesifik.
Tahap terakhir adalah maker, yaitu membangun model dasar untuk menangani kasus bisnis tertentu, seperti model AI yang dilatih membantu diagnosis pasien.
“Beberapa (perusahaan) sudah masuk tahap shaper atau development, tetapi jumlahnya masih sedikit,” kata Lead Analyst Katadata Insight Center Abhinaya Putri dalam acara Ngobrol Santai IDA bertajuk ‘Adopsi AI untuk Siapa? Jadi Mandiri atau Jebakan Kekuasaan Global’ di kantor Katadata, Jakarta, Rabu (26/2).
