Dua Zona Megathrust Paling Berbahaya di Indonesia, Bom Waktu Bagi Jakarta
BMKG atau Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyoroti dua wilayah yang berpotensi terjadi gempa megathrust, yakni Selat Sunda dan Mentawai-Siberut, serta dampaknya terhadap Jakarta. BMKG mengingatkan fenomena ini bukan perkiraan, melainkan tinggal menunggu waktu.
“Indonesia berada di di wilayah rawan gempa. Jadi penting untuk memahami mitigasi gempa megathrust, gempa super kuat yang bisa memicu tsunami besar,” kata BMKG melalui akun Instagram @infoBMKG, Sabtu (4/10).
Gempa megathrust adalah gempa bumi berkekuatan sangat besar yang terjadi di zona subduksi lempeng, yaitu bidang kontak di mana lempeng samudera (Indo-Australia) menyusup ke bawah lempeng benua (Eurasia). Proses ini menimbulkan penumpukan energi yang suatu saat bisa dilepaskan dalam bentuk gempa besar, bahkan tsunami.
BMKG menyebutkan magnitudo gempa megathrust dapat di atas delapan, yang berpotensi menimbulkan kerusakan bangunan di wilayah yang luas dan memicu tsunami besar. Contohnya gempa Chili magnitudo 9,5 pada 1960, di Aceh 9,2 pada 2004, dan Tohoku Jepang sembilan pada 2011.
“Mengapa masyarakat Indonesia perlu waspada? Segmen megathrust di Selat Sunda terakhir kali melepaskan gempa besar pada 1757. Sementara itu, segmen Mentawai-Siberut belum aktif sejak gempa 1797,” kata BMKG.
Kondisi itu dikenal sebagai seismic gap, yaitu wilayah yang secara geologis menyimpan potensi besar, karena lama tidak melepaskan energi. Jadi, meskipun belum terjadi, potensi itu nyata dan harus diwaspadai.
Pakar Teknik Sipil Struktur Tahan Gempa dari Fakultas Teknik Universitas Andalas atau Unand, Sumatera Barat, Fauzan menjelaskan kondisi itu tidak lepas dari keberadaan Indonesia yang terletak di ring of fire atau kawasan cincin api Pasifik.
Kawasan cincin api Pasifik merupakan tempat pertemuan tiga lempeng tektonik utama Indo Australia, Eurasia dan Pasifik. Hal ini menghasilkan aktivitas seismik dan vulkanik yang tinggi dengan risiko terjadinya bencana gempa bumi, tsunami hingga letusan gunung berapi.
Pergerakan lempeng tektonik itu menimbulkan akumulasi energi yang sewaktu-waktu dapat dilepaskan secara tiba-tiba, sehingga berpotensi menimbulkan gempa besar yang diikuti tsunami.
Dua Zona Megathrust Paling Berbahaya di Indonesia
Dikutip dari laman Badan Riset dan Inovasi Nasional alias BRIN, jalur megathrust di Indonesia memanjang dari sebelah barat ujung utara Sumatera ke selatan Jawa hingga di selatan Bali dan Nusa Tenggara yang terbagi-bagi ke dalam beberapa segmen.
Zona megathrust berada di zona subduksi aktif. Merujuk pada data Pusat Studi Gempa Nasional, Indonesia memiliki 16 segmentasi megathrust yang aktif dan berpotensi menyebabkan gempa besar hingga tsunami, yakni:
Fauzan menyebutkan megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut merupakan yang paling mungkin terjadi, bahkan dapat menimbulkan gelombang tsunami.
Dalam kajian para ilmuan, zona Megathrust Mentawai Siberut dikenal sebagai salah satu seismik gap yang paling berbahaya di dunia. Sebab, sejak 1797 dan 1833, zona ini belum melepaskan energi yang besar.
“Kita sama sekali tidak mengharapkan ini, tetapi potensinya sangat mungkin terjadi dan harus diantisipasi," kata Fauzan dikutip dari Antara, beberapa waktu lalu (27/9).
Dalam catatan sejarah, gempa yang terjadi pada 1797 dan 1833 menimbulkan kerusakan parah serta menelan korban jiwa di Kota Padang.
Dari analisis ahli, zona Megathrust Mentawai-Siberut itu bisa menimbulkan lindu dengan magnitudo sembilan. "Peneliti BRIN dan BMKG menegaskan bahwa zona ini menyimpan energi yang besar dan berpotensi menimbulkan bencana besar," ujar dia.
Kapan Gempa Megathrust Terjadi di Indonesia?
BMKG menegaskan belum ada teknologi yang dapat memperkirakan waktu maupun lokasi gempa secara pasti.
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan gempa megathrust di Selat Sunda dan Mentawai-Siberut merupakan hal yang pasti terjadi, namun tidak dapat diprediksi waktu tepatnya.
“Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata ‘tinggal menunggu waktu’, karena kedua wilayah ini sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar," ujar Daryono dalam keterangan pers pada Agustus (12/8).
Hal senada disampaikan oleh Peneliti Ahli Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN Nuraini Rahma Hanifa. “Megathrust beserta potensi gempanya adalah nyata, namun hal ini sebagai bagian dari fenomena alam yang harus dihadapi dengan adaptasi dan mitigasi,” kata dia dalam acara BRIN Insight Every Friday edisi ke-128 dengan tema Mengenal Megathrust dan Mitigasi pada Agustus (30/8).
Dampak Gempa Megathrust di Indonesia, Khususnya Jakarta
Berdasarkan peta gempa 2017, lokasi megathrust di Indonesia umumnya terletak di sisi barat Sumatera hingga selatan Jawa.
“Bidang megathrust ini seukuran Pulau Jawa. Bayangkan jika bergerak 20 meter secara serentak, goncangannya akan sangat besar,” kata Rahma.
Di selatan Jawa, megathrust terbentang sepanjang 1.000 kilometer dengan bidang kontak selebar 200 kilometer, yang menghujam hingga kedalaman sekitar 60 kilometer, dan terus mengakumulasi energi yang siap dilepas kapan saja.
“Di bawah Pulau Jawa, terdapat lempeng samudera Indo-Australia yang menghujam ke bawah selatan Jawa. Di atasnya ada lempeng kontinental. Pertemuan antara lempeng samudra dan lempeng kontinental inilah yang disebut bidang megathrust,” ujar dia.
Pelaksana Tugas atau Plt Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan pada April, bahwa wilayah yang memiliki struktur tanah lunak seperti Jakarta akan merasakan dampak lebih besar ketika terjadi gempa megathrust di Indonesia.
Dwikorita mengatakan kondisi tanah di Jakarta sama seperti kondisi di Bangkok, Thailand yang merasakan efek cukup besar akibat gempa besar di dataran Myanmar pada awal 2025. Tanah lunak akan membuat getaran gempa di wilayah sekitarnya menguat.
“Jadi tanah-tanah lunak, meskipun jaraknya jauh dari sumber gempa, dia akan mengalami perambatan gelombang. Di daerah dengan tanah lunak, getarannya menguat,” ujar Dwikorita dikutip dari laman Instagram BMKG, pada April (25/4).
Salah satu dampak utama dari gempa megathrust adalah tsunami. Gempa di bawah laut yang kuat dapat memicu pergerakan dasar laut secara tiba-tiba, menyebabkan gelombang tsunami besar yang bisa mencapai daratan dalam waktu singkat.
Indonesia pernah mengalami kejadian serupa saat tsunami Aceh 2004, yang menelan ratusan ribu korban jiwa. Dikutip dari laman BPBD Pangkalpinang, jika megathrust terjadi, daerah-daerah pesisir seperti Sumatra Barat, Lampung, Banten hingga Bali bisa terdampak parah.
Gelombang tsunami setinggi puluhan meter berpotensi menyapu kawasan pemukiman, menghancurkan infrastruktur, dan menelan korban jiwa dalam jumlah besar.
Gempa berkekuatan tinggi dapat menyebabkan runtuhnya gedung-gedung, jembatan, dan fasilitas publik seperti rumah sakit dan sekolah. Gangguan pada jaringan transportasi, energi, air, dan telekomunikasi akan memperlambat respons dan upaya pemulihan pascabencana.
Bencana megathrust juga akan berdampak pada lingkungan. Selain kerusakan pada ekosistem pesisir seperti terumbu karang, mangrove, dan hutan bakau, tsunami bisa mengangkut limbah dan bahan kimia berbahaya ke daratan, mencemari lahan pertanian, perairan tawar, dan laut.
Antisipasi Gempa Megathrust
Dwikorita meminta Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah Provinsi Jakarta melakukan pengawasan terhadap rancangan gedung di ibu kota, agar bangunan tinggi memiliki ketahanan dari gempa berkekuatan besar.
“Perlu adanya inspeksi meyakinkan bangunan-bangunan hunian yang towernya tinggi-tinggi itu, dipastikan sudah siap untuk menghadapi guncangan yang kuat,” ujar dia.
BMKG menyiapkan system monitoring, prosesing dan diseminasi informasi gempa bumi serta peringatan dini tsunami. Selain itu, memberikan edukasi, pelatihan mitigasi, drill, evakuasi, berbasis pemodelan tsunami kepada pemerintah daerah, stakeholder, masyarakat, pelaku usaha pariwisata pantai, industri pantai dan infrastruktur kritis seperti pelabuhan dan bandara pantai.
Edukasi itu dikemas dalam kegiatan Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami (SLG), BMKG Goes To School (BGTS) dan Pembentukan Masyarakat Siaga tsunami (Tsunami Ready Community).
Sementara itu, Peneliti Ahli Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN Nuraini Rahma Hanifa mengatakan, dalam konsep bencana, terdapat hal yang bisa dan tidak bisa dikontrol, seperti pergerakan bumi dan pertumbuhan penduduk.
Risiko bencana yakni fungsi dari bahaya dan kerentanan, yang dibagi dengan kapasitas atau kemampuan beradaptasi.
Rahma mengatakan kerentanan itu berhubungan dengan eksposur atau pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko bencana dari potensi megathrust, kapasitas adaptasi penduduk harus ditingkatkan.
“Jika hal ini tidak ditingkatkan, sementara kita sudah tahu akan adanya bencana tetapi tidak mengambil tindakan apa-apa, maka kapasitas kita rendah, dan ini akan meningkatkan risiko bencana,” ujar dia.
Rahma menekankan pentingnya pemahaman yang baik tentang megathrust untuk meningkatkan kapasitas adaptasi.
“Ancaman dari megathrust terbagi menjadi ancaman primer seperti goncangan gempa permukaan dan surface rupture. Kemudian ada ancaman sekunder seperti tsunami, longsor, likuifaksi, dan kebakaran,” ujarnya.
“Kita bisa hidup berdampingan dengan fenomena megathrust, dan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Kita memang harus hidup bersama dengan megathrust, apalagi kita berada di negara kepulauan,” ujar dia.


