Kecepatan Internet Starlink Menurun di Indonesia, Baru Setahun Beroperasi
Kecepatan internet Starlink menurun di Indonesia, menurut laporan Opensignal. Perusahaan milik Elon Musk ini beroperasi setahun di Tanah Air.
“Kecepatan Starlink menurun drastis: Kemacetan (jaringan) membuat kecepatan unduh Starlink turun hingga hampir dua pertiga dan unggahan hampir setengahnya dalam waktu 12 bulan setelah peluncuran,” demikian dikutip dari laporan bertajuk ‘Starlink di Indonesia–Satu Tahun Berlalu’, pada Selasa (14/10).
Berikut data penurunan kecepatan internet Starlink sejak beroperasi di Indonesia pada Mei 2024:
- Kecepatan unduh turun dari 42 Mbps pada 2024, menjadi 15,8 Mbps tahun ini
- Kecepatan unggah turun dari 10,5 Mbps menjadi 5,4 Mbps
- Pengalaman video turun dari 58,1 poin menjadi 53,1 poin
OpenSignal menyebutkan penyebab utama penurunan kecepatan internet Starlink yakni kemacetan jaringan akibat lonjakan permintaan. Dalam beberapa bulan pertama, Starlink bahkan menghentikan sementara pendaftaran pengguna baru karena kapasitas yang terbatas.
Ketika layanan kembali dibuka pada Juli 2025, pelanggan baru dihadapkan pada biaya antara US$ 490 – US$ 574 atau Rp 8 juta hingga Rp 9,4 juta (kurs Rp 16.500 per US$), setara tiga kali lipat dari rata-rata upah bulanan di Indonesia.
Meski kecepatan menurun, konsistensi kualitas jaringan Starlink meningkat dari 24,2% pada 2024 menjadi 30,9% pada 2025. Artinya, meskipun kecepatannya menurun, stabilitas koneksi justru membaik.
“Hal itu menandakan adanya peningkatan pada infrastruktur dan latensi jaringan,” demikian dikutip.
Dalam perbandingan langsung dengan layanan fixed wireless access (FWA), Opensignal mencatat Starlink hanya unggul dalam kecepatan unduh, sementara FWA lebih baik di hampir semua indikator lainnya terutama konsistensi kualitas yang hampir mencapai 50%, jauh lebih tinggi dibandingkan hasil Starlink.
Berikut rinciannya:
Kecepatan Unduh:
- Starlink: 15,8 Mbps
- FWA: 14,8 Mbps
Kecepatan Unggah:
- Starlink: 5,4 Mbps
- FWA: 8,3 Mbps
Konsistensi Kualitas:
- Starlink: 30,9%
- FWA: 49,7%
Pengalaman Menonton Video:
- Starlink: 53,1
- FWA: 55,2
Kecepatan internet Starlink sedikit lebih cepat dalam hal unduhan, tetapi FWA lebih unggul dalam kestabilan dan pengalaman pengguna.
Sebagian besar layanan FWA di Indonesia masih berbasis 4G, dengan ekspansi 5G yang berjalan lambat karena keterbatasan spektrum. Operator seperti Telkomsel (Orbit), XL, dan Indosat Ooredoo Hutchison (HiFi Air) menjadi pemain utama di segmen ini. Orbit Telkomsel, misalnya, tumbuh hingga 31% pada 2023 dengan 1,1 juta pelanggan.
Meski kalah dalam konsistensi, Starlink tetap menunjukkan keunggulan di wilayah pedesaan dan terpencil. Opensignal menilai meski performa Starlink di Indonesia turun secara drastis, layanan ini tetap memiliki peran dalam memperluas konektivitas di wilayah kepulauan.
“Starlink menawarkan kinerja yang lebih seragam secara nasional, memperluas akses ke provinsi-provinsi terpencil di bagian timur seperti Maluku dan Papua. FWA berfokus pada Jawa, Sumatra, dan wilayah barat lainnya yang padat penduduknya,” tulis Opensignal.
Namun, laporan tersebut juga menyoroti konsistensi kualitas Starlink yang masih lemah di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Sebab, FWA secara konsisten mendapatkan skor yang lebih tinggi dalam hal Konsistensi Kualitas di semua tipe area, dengan stabilitas Starlink yang lebih lemah paling terlihat di zona pedesaan.
Tantangan Starlink di Indonesia
Opensignal menyinggung pula tantangan regulasi yang dihadapi Starlink di Indonesia. Salah satu isu utama adalah ketentuan perizinan. Sebelum diluncurkan, Starlink telah mengantongi izin Very Small Aperture Terminal (VSAT) dan izin sebagai penyelenggara layanan internet (ISP).
Namun, Kementerian Komunikasi dan Digital atau Komdigi tetap mewajibkan perusahaan tersebut untuk membangun Pusat Operasi Jaringan (Network Operation Center/NOC) di Indonesia. Tujuannya agar pemerintah dapat memantau langsung lalu lintas jaringan dan memastikan seluruh data pengguna tetap melalui gerbang internet domestik.
Isu lain yang menuai perdebatan adalah pembatasan roaming. Fitur mobilitas menjadi keunggulan utama Starlink, yang dipromosikan dengan slogan “terhubung di rumah atau di mana saja.” Namun, aturan di Indonesia tidak memperbolehkan operator broadband tetap untuk menyediakan layanan roaming di darat.
Roaming hanya diizinkan untuk kapal laut dan dibatasi maksimal tujuh hari. Komdigi memperingatkan bahwa jika Starlink tetap menawarkan layanan roaming berbasis darat, seperti untuk kendaraan pribadi, izin operasinya bisa dicabut.
Dari sisi persaingan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merekomendasikan agar Starlink dibatasi hanya untuk wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Sementara itu, penyedia layanan lokal diharapkan tetap menggarap pasar perkotaan. Langkah ini dianggap penting untuk menjaga keseimbangan industri dan melindungi investasi infrastruktur dalam negeri.
Namun, data Opensignal menunjukkan bahwa sekitar 17,3% pengguna Starlink justru berada di wilayah perkotaan. Hal ini menunjukkan tingginya minat masyarakat di luar target awal layanan ini.
