Survei HSBC: Adopsi AI di Bank Terhambat Kekhawatiran soal Hacker

Kamila Meilina
16 Oktober 2025, 18:32
adopsi ai di bank, bank dibobol hacker,
Gemini, Katadata/Desy Setyowati
Ilustrasi robot melakukan coding
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Adopsi AI di sektor perbankan dinilai terhambat oleh kekhawatiran treasurer atau pengelola kas dan likuiditas akan risiko keamanan siber alias peretasan oleh hacker.

Head of Global Payments Solutions HSBC Indonesia Anne Suhandojo mengatakan banyak treasurer di Indonesia masih berhati-hati dalam memanfaatkan teknologi, termasuk AI, untuk mempercepat proses keuangan.

“Mereka menganggap bahwa risiko terkait teknologi masih sangat tinggi,” ujar Anne dalam Media Briefing HSBC di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (16/10). Sebanyak 48% responden dalam survei HSBC bertajuk ‘Redefining Treasury Asia Pacific: Voices of Treasury 2025’ menganggap risiko siber sebagai tantangan utama.

Menurut Anne, sebagian besar perusahaan di Indonesia menyadari pentingnya otomatisasi untuk mempercepat pengambilan keputusan dan meningkatkan efisiensi. Namun, transformasi menuju real-time treasury tidak sesederhana mengadopsi teknologi baru.

Real-time treasury adalah sistem pengelolaan keuangan perusahaan yang memungkinkan treasurer memantau, menganalisis, dan mengambil keputusan secara langsung dan instan berdasarkan data keuangan yang selalu terbarui waktu nyata atau real time.

“Teknologi itu penting, tapi harus disertai ‘tanda putih’. Artinya ada hal-hal mendasar yang perlu dipersiapkan, seperti infrastruktur, keamanan data, dan kesiapan sumber daya manusia,” kata dia.

Banyak perusahaan Indonesia masih mengandalkan proses manual dalam mengelola keuangan. Misalnya, transaksi masih dilakukan langsung di bank, dan pencatatan saldo dilakukan secara terpisah antar cabang atau anak perusahaan. Kondisi ini membuat mereka sulit merespons perubahan nilai tukar atau volatilitas pasar dengan cepat.

Meski berpotensi besar, penggunaan AI di sektor treasury masih terbatas. Survei HSBC menunjukkan hanya sebagian kecil perusahaan di Indonesia yang sudah memanfaatkan AI.

“AI bisa membantu menganalisis arus kas, memprediksi pola pembayaran, dan memberi rekomendasi investasi. Tapi banyak perusahaan masih enggan karena risiko kebocoran data dan integritas informasi,” kata Anne.

Kekhawatiran itu sejalan dengan hasil survei, yakni 48% dari 460 responden menyebut risiko terkait teknologi, terutama siber, menjadi hambatan utama menuju sistem real-time.  Selain itu, 34% mempersoalkan keterbatasan anggaran sistem dan 31% terkait kurangnya tenaga ahli untuk implementasi teknologi baru.

Meski masih banyak tantangan, tren adopsi teknologi diperkirakan meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Pada 2025, sebagian besar treasurer menilai AI berguna, meski belum menjadi kebutuhan utama. 

Pada 2028, lebih dari 50% responden memperkirakan AI akan menjadi sangat penting dalam manajemen keuangan perusahaan. “AI saat ini lebih dilihat sebagai pelengkap dari otomatisasi. Otomasi menyediakan data, sementara AI menambahkan fungsi analisis yang memperkuat pengambilan keputusan,” Anne menambahkan. 

Dengan infrastruktur pembayaran real time seperti BI-FAST dan QRIS, serta dorongan digitalisasi perbankan, Indonesia dinilai sudah memiliki pondasi yang kuat. Tantangannya kini adalah membangun kepercayaan dan kesiapan untuk mengelola risiko siber yang menyertai transformasi digital tersebut.

Untuk mengatasi hal itu, beberapa bank global seperti HSBC menawarkan solusi berupa liquidity management dashboard yang memungkinkan perusahaan memantau posisi kas secara real time di berbagai negara. “Dengan dashboard ini, CFO dapat melihat posisi kas secara keseluruhan dan mengambil keputusan strategis dalam hitungan detik,” ujar Anne.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Kamila Meilina

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...