Riset: Adopsi AI Bisa Percepat Indonesia Jadi Negara Maju
Adopsi teknologi kecerdasan buatan atau AI dinilai bisa mempercepat Indonesia menjadi negara maju, menurut riset Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) dan perusahaan riset Twimbit.
Merujuk pada Empowering Indonesia Report 2025, adopsi AI yang kuat diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi tahunan 6,8% sampai 7%. Selain itu, mempercepat pencapaian target perekonomian hingga lima tahun lebih awal.
“Dengan berinvestasi di lima pilar, Indonesia dapat membangun jembatan menuju masa depan dengan pertumbuhan ekonomi 6,5% - 7%, serta mencapai status negara berpendapatan tinggi yang ingin dicapai Indonesia pada 2036 – 2041,” Founder sekaligus CEO Twimbit Manoj Menon dalam peluncuran Empowering Indonesia Report 2025, di Jakarta Pusat, Senin (27/10).
Dikutip dari laman Kementerian Keuangan atau Kemenkeu, Bank Dunia membagi negara berdasarkan pendapatan nasional bruto alias GNI per kapita ke dalam empat kategori:
- Rendah di bawah US$ 1.135 atau Rp 18,9 juta (kurs Rp 16.620 per US$)
- Menengah bawah US$ 1.136 – US$ 4.465 atau Rp 18,9 juta – Rp 74,2 juta
- menengah atas US$ 4.466 – US$ 13.845 atau Rp 74,2 juta – Rp 230,1 juta
- Tinggi di atas US$ 13.845 atau Rp 230,1 juta
Sementara itu, lima pilar dalam membangun kesiapan AI nasional yang dimaksud yakni:
- Infrastruktur AI
- Pengembangan talenta digital
- Pertumbuhan industri dan ekosistem AI
- Riset dan pengembangan (R&D)
- Tata kelola dan kepercayaan
Dalam hal infrastruktur, Indonesia membutuhkan investasi US$ 3,2 miliar atau Rp 53,2 triliun hingga 2030 untuk memenuhi kebutuhan daya komputasi yang terus meningkat akibat beban kerja AI.
Manoj mengatakan permintaan daya untuk AI diperkirakan mencapai 18% - 20% dari total pusat data global pada 2030.
Di Indonesia, kapasitas pusat data diperkirakan naik dari 0,3 gigawatt pada 2024 menjadi 1,1 gigawatt pada 2030. Sebanyak 18% di antaranya didorong oleh beban kerja AI.
Akan tetapi, penggunaan pusat data di Indonesia untuk AI masih di bawah 1% atau jauh tertinggal dibandingkan rata-rata global 4% - 6%.
“Untuk menciptakan infrastruktur digital yang kuat, Indonesia membutuhkan sumber daya energi terbarukan berkualitas tinggi agar dapat mengakses energi berbiaya rendah dan membangun fondasi yang kokoh,” kata
Selain itu, AI membutuhkan jenis infrastruktur baru, mulai dari daya komputasi, konsumsi energi, sistem pendinginan hingga pengembangan lahan, yang lebih kompleks dibanding pusat data tradisional.
Dari sisi SDM, jumlah talenta teknis AI di Indonesia kurang dari 100 ribu orang. Angka ini perlu ditingkatkan menjadi 400 ribu pada 2030 guna memenuhi kebutuhan industri. Peningkatan ini diperkirakan memerlukan investasi sekitar US$ 1 miliar.
Sementara itu, dalam hal riset dan pengembangan, Indonesia di posisi terbawah di antara negara-negara Asia. Jumlah publikasi riset AI dari Tanah Air meningkat perlahan sejak 2010, tetapi tidak sebanding dengan lonjakan penelitian di negara tetangga.
Di sisi ekosistem, ada sekitar 360 startup AI di Indonesia dengan total pendanaan sekitar US$ 1 miliar, jauh di bawah total global yang mencapai US$ 200 miliar.
“Indonesia diharapkan mampu menarik investasi tahunan senilai US$ 5 miliar – US$ 6 miliar agar bisa memainkan peran yang lebih besar secara global,” kata dia.

