Riset: WhatsApp Jadi Aplikasi Paling Banyak Dipakai Penipuan di Indonesia

Kamila Meilina
3 November 2025, 12:10
whatsapp penipuan online,
Freepik.com
Cara Menggunakan Dua WhatsApp Dalam Satu HP
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

WhatsApp menjadi aplikasi yang paling banyak dipakai untuk penipuan di Indonesia, menurut laporan Global Anti-Scam Alliance (GASA) bersama Indosat Ooredoo Hutchison.

“Dua pertiga orang dewasa di Indonesia pernah mengalami scam, beberapa bahkan lebih dari sekali dalam sepekan. Meskipun sebagian besar memiliki intuisi yang baik, kompleksitas dan realisme modus baru membuat banyak korban tetap terjebak,” ujar APAC Director GASA Brian D. Hamley di Jakarta Selatan, Jumat (31/10).

Laporan GASA State of Scams in Indonesia 2025 menunjukkan 85% percobaan penipuan di Indonesia terjadi melalui platform pesan seperti WhatsApp, Telegram, dan media sosial. Urutan aplikasi yang paling sering digunakan untuk penipuan online yakni:

  • Aplikasi pesan langsung (87%) 
  • Penipuan telepon (64%)
  • Pesan singkat atau SMS (59%) 
  • Media sosial (48%) 
  • E-mail (29%) 
  • Iklan digital (26%)
  • Interaksi tatap muka (14%)
  • Marketplace online (8%) 

Rincian aplikasinya yang paling banyak dilaporkan untuk penipuan di Indonesia sebagai berikut:

  • WhatsApp (89%) 
  • Telegram (40%) 
  • Facebook (37%)
  • Gmail (32%)
  • Instagram (28%)
  • TikTok (13%) 
  • X (yang dulu dikenal Twitter) (9%)
  • WeChat (3%) 
  • Tinder (2%) 
  • Microsoft Outlook (2%)

Jenis penipuan yang paling sering terjadi sebagai berikut: 

  • Penipuan investasi (63%)
  • Penipuan belanja online (55%)
  • Penipuan amal/penggalangan dana palsu (55%)

Riset GASA terhadap 1.000 responden dewasa di Indonesia mengungkapkan 66% di antaranya pernah terpapar upaya penipuan dalam 12 bulan terakhir. 

Dari jumlah itu, 35% benar-benar mengalami penipuan, dengan 14% kehilangan uang. Rata-rata kerugian per orang Rp 1,72 juta, dan total uang yang dicuri mencapai Rp 49 triliun dalam setahun terakhir.

Ia menjelaskan, lebih dari setengah korban (51%) melaporkan merasa sangat atau agak stres setelah mengalami penipuan. Selain itu, 38% menyebut kejadian itu berdampak signifikan terhadap kesehatan mental. 

Tak sedikit pula yang mengalami perubahan perilaku setelahnya, dengan 63% menjadi lebih waspada terhadap penipuan, sementara 9% harus dibantu keluarga secara finansial karena kehilangan uang.

“Rasa malu dan stres membuat sebagian korban enggan melapor, padahal ini penting untuk memutus rantai penipuan,” kata Brian. 

Dari seluruh responden yang pernah terpapar scam, 63% melaporkannya ke platform atau penyedia layanan, namun hanya 25% yang berhasil memulihkan sebagian dana. Banyak korban yang tidak melapor karena proses pelaporan dianggap rumit (33%) atau tidak tahu ke mana harus melapor (35%).

Langkah paling umum yang dilakukan masyarakat untuk mengecek keaslian tawaran meliputi:

  • Mencari ulasan di situs lain (36%)
  • Mengecek keberadaan nomor kontak (35%)
  • Memastikan perusahaan aktif di media sosial (30%)
  • Berkonsultasi dengan keluarga atau teman (32%)

Ia menekankan pentingnya kesadaran publik dan kolaborasi lintas sektor untuk menekan angka kejahatan digital. Upaya pencegahan dilakukan dengan kampanye edukasi, dukungan hukum dan psikologis bagi korban, serta peningkatan keamanan digital oleh industri teknologi.

“Kami terus berupaya membangun internet yang lebih aman bersama perbankan, operator telekomunikasi, fintech, e-commerce, dan media sosial. Media juga memegang peran penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat,” ujarnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Kamila Meilina

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...