Kata Kreator Konten soal Wacana Tiru Cina Wajibkan Influencer Punya Sertifikat
Kementerian Komunikasi dan Digital atau Komdigi tengah mengkaji kebijakan pemerintah Cina yang mewajibkan para pemengaruh atau influencer memiliki sertifikasi untuk bisa membuat konten topik sensitif.
Kreator konten Lianna Nathania, yang dikenal lewat konten trik berhitung cepat di TikTok dengan nama akun @liannanathania, mengatakan latar belakang pendidikannya bukan di bidang matematika.
“Akan tetapi, aku tetap menjaga kepercayaan audiens dengan cara menguji setiap trik yang aku bagikan,” kata Lianna di sela-sela acara media briefing TikTok di Jakarta Selatan, Selasa (11/10).
Kreator konten dengan 3,7 juta pengikut itu membagikan tips dan trik berhitung matematika dasar kepada para pengikut.
“Aku memastikan semua trik yang disampaikan sudah aku coba sendiri, dan aku beri catatan kalau triknya hanya berlaku untuk kasus tertentu. Jadi ini bentuk tanggung jawab aku sebagai kreator edukasi,” Lianna menambahkan.
Kreator parenting dan kesehatan mental Halimah dengan nama akun @dailyjour menyampaikan bahwa platform digital turut berperan dalam meningkatkan kualitas dan kredibilitas konten edukatif.
Ia mencontohkan TikTok memiliki program pelatihan Mindflow Makers, yang melatih kreator agar mampu menghasilkan konten seputar kesehatan mental yang berbasis data dan bersumber dari ahli.
“Aku bukan psikolog, tapi lewat program itu kami diajarkan untuk mengacu pada sumber yang tepat dan menjaga integritas. Jadi meskipun bukan profesional, kami tetap bisa membuat konten yang kredibel,” ujarnya.
Dalam konten kesehariannya, Halimah dikenal karena memberikan edukasi parenting alias pengasuhan anak kepada pengikut. Di paltform TikTok, Halimah memiliki 1,3 juta pengikut.
Lalu, kreator astronomi Bima Nasution dengan nama akun @bims_stagram) sepakat bahwa platform memiliki peran dalam menjamin kredibilitas kreator dan konten yang diunggah.
Meski membuat konten yang mengenalkan fenomena langit dan cuaca, Bima bukanlah lulusan astronomi. Ia belajar menyampaikan data faktual dan bisa dipertanggungjawabkan melalui pelatihan dan berbagai program.
“Saya bukan lulusan astronomi, tetapi saya mendalami karena hobi. Di program Trusted Creator Lab kami diajarkan untuk menyampaikan data yang faktual dan bisa dipertanggungjawabkan,” kata Bima.
Aturan Influencer di Cina, Dikaji Komdigi
Pemerintah Cina mewajibkan para influencer memiliki sertifikat pelatihan atau pendidikan formal jika ingin membuat konten sensitif seperti kedokteran, hukum, pendidikan, dan keuangan di media sosial.
Kebijakan itu diterbitkan oleh Administrasi Siber Cina (CAC) pada Agustus, sebagai upaya meningkatkan kepercayaan publik dan mencegah penyebaran informasi menyesatkan.
Kreator konten diberi waktu dua bulan atau mulai Oktober untuk menyerahkan bukti sertifikasi yang terverifikasi. Selain itu, setiap konten yang membahas topik sensitif diwajibkan mencantumkan sumber informasi yang digunakan, terutama jika melibatkan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Platform media sosial seperti Douyin, Bilibili, dan Weibo juga diminta untuk memverifikasi kredensial para kreator. CAC menegaskan, influencer memiliki tanggung jawab hukum dan ilmiah atas setiap informasi yang mereka bagikan kepada publik.
Sementara itu di Indonesia, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Komdigi Bonifasius Wahyu Pudjianto mengatakan instansi masih melakukan diskusi dan analisis internal mengenai kemungkinan penerapan kebijakan serupa di Indonesia.
“Informasi ini masih baru. Kami kaji dulu. Kami ada grup WhatsApp, dan sedang membahas bagaimana isu ini. Ada negara yang sudah mengeluarkan kebijakan baru, ini masih kami pelajari,” ujar Bonifasius di Kantor Komdigi, Jakarta Pusat, dikutip dari Antara, dua pekan lalu (31/10).
Bonifasius menjelaskan, Komdigi rutin memantau kebijakan negara lain dalam menjaga ekosistem digital. Ia mencontohkan langkah Australia yang membatasi penggunaan media sosial bagi anak di bawah umur, yang kemudian menginspirasi penerbitan PP Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).
Meski demikian, Bonifasius menegaskan bahwa wacana sertifikasi influencer masih sebatas kajian dan belum tentu akan diterapkan.
“Kami perlu menjaga, tetapi jangan sampai terlalu mengekang. Kompetensi memang diperlukan, tapi jangan sampai mereka membuat konten yang salah,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya membuka ruang dialog sebelum mengambil keputusan.
“Kami harus mendengar masukan. Kalau perlu diterapkan, oke, tapi bagaimana? Seperti apa? Kan pasti ada level atau grade, dan harus jelas siapa yang diatur. Sekarang yang jadi konten kreator banyak sekali,” katanya.
