• Pembangunan hutan tanaman energi untuk memasok kebutuhan biomassa berpotensi mengancam hutan.
  • Biomassa dari kayu dan sampah membawa risiko kesehatan.
  • Berpotensi menimbulkan utang karbon 

PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mengukuhkan skema co-firing biomassa sebagai jalan untuk segera bertransisi ke energi bersih. Dalam kunjungannya ke Jepang dengan agenda mematangkan kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) dengan Jepang untuk mempercepat eksekusi proyek transisi energi, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyinggung co-firing biomassa yang telah dilakukan oleh Indonesia.

Darmawan memaparkan co-firing sejalan dengan target PLN untuk mengurangi emisi karbon. "Kami menargetkan penurunan emisi hingga 9,8 juta ton CO2 pada tahun 2030 mendatang,” kata dia, Senin (6/3) lalu di Tokyo.

Advertisement

Ia menjelaskan upaya penurunan emisi itu dilakukan melalui implementasi teknologi co-firing di 52 lokasi milik PLN. Untuk memenuhi bahan baku hingga 2025 mendatang, PLN membutuhkan 10,2 juta ton biomassa. Ia mengatakan PLN telah membangun rantai pasok dan melibatkan masyarakat dalam penyediaan biomassa itu.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulyana mengklaim pengadaan biomassa dari co-firing yang telah dilaksanakan telah menyerap tenaga kerja sekitar 1.300 orang. "Transisi energi berkelanjutan yang dilakukan secara meluas akan membuka lapangan kerja baru dan kesempatan ekonomi, serta dapat mendukung pemulihan global," kata dia dalam acara Human Capital Summit 2023 di Jakarta Convention Center, Selasa (21/3).

PENGGUNAAN BIOMASSA UNTUK BAHAN BAKAR SUBSTITUSI
PENGGUNAAN BIOMASSA UNTUK BAHAN BAKAR SUBSTITUSI (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/tom.)

 
Rantai Pasok dari Kayu, Tekanan terhadap Hutan yang Baru

Pada awal tahun PLN menyampaikan telah melakukan kerja sama dengan Perhutani dan PTPN untuk memasok kebutuhan biomassa. Perhutani akan memasok kebutuhan PLTU Pelabuhan Ratu sebesar 11.500 ton per tahun dan untuk PLTU Rembang sebesar 14.300 ton per tahun dan akan membangun pabrik pengolahan di Rembang. 

Hingga akhir 2021, Perhutani telah menanam kaliandra dan gamal di lahan seluas 31.136 hektare untuk bahan campuran batu bara di PLTU. Luas hutan tanaman energi ini akan ditingkatkan hingga mencapai 65 ribu hektare pada 2024 sesuai dengan Rencana Jangka Panjang Perusahaan.

Selain dari perhutani, pemerintah membuka peluang rantai pasok dari hutan tanaman industri (HTI). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan membuka peluang itu melalui multiusaha kehutanan, yaitu penerapan beberapa kegiatan usaha kehutanan dalam satu izin yang disebut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK, hingga 2021 terdapat 13 HTI yang sudah mengalokasikan lahannya untuk tanaman energi dengan total luas 142.172 hektare. Di luar itu, ada 18 HTI lainnya yang sudah menyatakan komitmennya untuk membangun hutan energi.

Sementara itu, riset Trend Asia mengestimasi kebutuhan lahan untuk HTE paling sedikit 2,33 juta hektare atau 35 kali luas DKI Jakarta. Luasan ini disesuaikan dengan kebutuhan biomassa sekitar 10,23 juta ton per tahun ketika co-firing diterapkan penuh pada 2025 mendatang. Padahal, 38 persen lahan HTI berasal dari pembukaan hutan alam.

Perhitungan itu didapatkan dengan menghitung kebutuhan pelet kayu dan produksi pelet kayu dari enam jenis pohon kayu energi yang direkomendasikan oleh KLHK. Keenam tanaman itu adalah akasia, kaliandra merah, eukaliptus, gamal, turi, dan lamtoro.

Dari skenario tersebut, didapatkan potensi deforestasi per jenis tanaman. Untuk akasia, potensi deforestasinya mencapai 1,08 juta hektare. Sementara kaliandra memiliki potensi deforestasi sebesar 755 ribu hektare. Potensi deforestasi lamtoro, turi dan eukaliptus berturut-turut sebesar 629 ribu hektare, 839 ribu hektare, dan 1 juta hektare. Gamal memiliki potensi deforestasi tertinggi sebesar 2 juta hektare.

Adapun izin pelepasan kawasan hutan yang diberikan untuk pembangunan hutan energi sesuai Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2021, adalah seluas 60 ribu hektare untuk satu izin dalam satu provinsi. Paling banyak seluas 300 ribu hektare secara nasional. Izin ini berlaku selama 20 tahun dan penggunaan kawasannya dapat dilakukan tanpa menunggu penetapan tata batas kawasan hutan.

Manajer Program Trend Asia Amalya Reza Oktaviani mengatakan skema co-firing PLTU hanya menguntungkan para pebisnis industri batu bara dan kehutanan. "Skema ini tidak hanya menghambat transisi energi, tapi justru kontradiktif dalam melawan perubahan iklim," kata dia. Padahal, Indonesia memiliki klaim ambisius menurunkan deforestasi seperti di bawah ini:


Ancaman Kesehatan dari Pembakaran Kayu dan Sampah

Selain dari kayu yang berasal dari hutan energi, co-firing juga memanfaatkan sampah. PLN mengatakan telah berkolaborasi dengan 12 pemerintah daerah di seluruh Indonesia untuk memanfaatkan sampah menjadi energi.

Padahal, menurut Climate and Clean Energy Campaign Associate GAIA Asia Pacific Yobel Novian Putra, pembakaran sampah, khususnya plastik, menghasilkan dioksin yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. "Dioksin sebenarnya istilah yang digunakan untuk menyebutkan sekelompok zat-zat kimia berbahaya yang turunannya bermacam-macam," kata dia.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement