Pemerintah Sebut Impor Jagung Telah Menghitung Kepentingan Semua Pihak
Pemerintah menyatakan pengambilan kebijakan impor jagung telah mempertimbangkan sejumlah aspek kepentingan petani dan pelaku usaha. Minimnya pasokan jagung ketika musim panceklik berpotensi menggerek harga jagung sehingga bisa berakibat pula pada peternak ayam dan telur.
Meski demikian, impor jagung dengan alasan mengantisipasi kenaikan harga pakan ternak juga tidak boleh dilakukan berbarengan dengan masa panen. "Keputusan yang kami ambil harus menjaga keseimbangan seluruh pihak," kata Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso di Jakarta, Kamis (21/2).
Kebijakan pemerintah harus memprioritaskan kepentingan produsen dan konsumen. Sehingga, salah satu aspek penting dalam memutuskan impor adalah melalui pendataan yang akurat.
(Baca: Pengusaha Pakan Ternak Bantah Klaim Pemerintah soal Harga Jagung Turun)
Menurutnya, keputusan impor jagung sebesar 280 ribu ton sejak Oktober 2018 sampai Maret 2019 telah melalui perhitungan panen di beberapa tempat. Selain itu, perbedaan harga jagung di daerah juga menjadi patokan pemerintah sebelum memutuskan impor.
Pembahasan impor dalam Rapat Koordinasi Terbatas di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga ikut melibatkan kementerian dan lembaga teknis serta pelaku usaha sektor terkait untuk meminta masukan. "Pengambilan kebijakan itu berdasarkan Rakortas dengan pembahasan yang mendalam," ujar Susiwijono.
Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika justru menilai intervensi impor yang dilakukan pemerintah terlambat. Sebab, produksi tahun lalu sudah diprediksi rendah daripada 2017.
Akibat produksinya yang rendah, harga jagung pada tahun lalu sempat di atas Rp 5 ribu per kilogram (kg). Padahal, pada 2017 harga jagung masih berada dalam level stabil Rp 3 ribu per kg dengan harga acuan sebesar Rp 4 ribu per kg.