Kebutuhan Gula Naik 6% Terkerek Geliat Industri Makanan dan Farmasi
Kementerian Perindustrian memproyeksikan kebutuhan gula kristal rafinasi untuk industri makanan dan minuman serta industri farmasi akan mengalami peningkatan sebesar 6% per tahun. Kenaikan itu diprediksi terjadi seiring dengan pertumbuhan kedua industri yang mencapai 7% setiap tahun.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono menyatakan momen Pemilihan Umum (Pemilu) akan mendorong pertumbuhan industri, khususnya makanan minuman byang diperkirakan bisa mencapai 8% pada 2019.
"Ekgiatan Pileg dan Pilpres yang digelar serentak bakal mendorong lonjakan terhadap konsumsi produk makanan dan minuman," kata Sigit dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (16/1).
(Baca: Naik 19%, Kementan Targetkan Produksi 2,5 Juta Ton Gula pada 2019)
Sementara itu, Sigit juga memperkirakanlaju pertumbuhan industri farmasi mampu menembus 10% pada tahun ini. Selain melalui peningkatan investasi, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) membantu pertumbuhan industri.
Untuk mendorong keberlanjutan produksi, Kementerian Perindustrian berupaya terus memastikan ketersediaan bahan baku gula bagi kedua sektor. Sebab, sektor manufaktur menurutnya secara konsisten mampu memberikan nilai tambah bahan baku dalam negeri, menyerap tenaga kerja lokal, dan mendorong penerimaan devisa dari ekspor. Alhasil, perekonomian nasional juga akan terdorong.
Oleh karenanya, kementerian juga merekomendasikan impor gula mentah untuk kemudian diolah menjadi gula kristal rafinasi. Pada 2018, tercatat realisasi penyaluran gula impor untuk industri makanan minuman serta farmasi mencapai sebesar 3 juta ton dari hasil impor sebesar 3,2 juta ton.
Sementara pada 2019, impor gula mentah yang diolah sebagai gula rafinasi turun 12,5% menjadi 2,8 juta ton, meski pertumbuhan industri makanan minuman diprediksi tetap tumbuh 8%. Adapun, persyaratan asal impor gula mentah berasal dari India, Thailand, Australia, dan Brazil.
(Baca: Faisal Basri Soroti Besarnya Data Impor Gula Jelang Pemilu)
Untuk mendorong peningkatan produksi gula dalam negeri, pemerintah terus menggenjot investasi industri gula terintegrasi dengan kebun untuk menekan impor. Saat ini, sudah ada tiga investor yang menyatakan komitmen investasi. “Pabrik gula terintegrasi yang selesai baru satu dari tiga yang saat ini sedang melakukan investasi,” ujarnya.
Sebelumnya, Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan disparitas harga gula internasional dengan harga produksi domestik bisa memberi celah beroperasinya para pemburu rente serta berpotensi menciptakan praktik korupsi. Hal ini cukup mengkhawatirkan, terlebih dengan tingginya volume impor gula Indonesia sepanjang 2018.
Faisal mengatakan rata-rata harga gula mentah internasional sebesar Rp 4 ribu per kilogram, jauh lebih murah daripada Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gula yang mencapai Rp 9.700 per kilogram. "Disparitas ini merupakan penyebab praktik rente oleh pemerintah," kata dia.
Menurutnya, keputusan impor gula oleh pemerintah merupakan solusi jangka pendek untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, terutama dalam menjaga stabilisasi harga. Namun, pemerintah tidak menyediakan solusi jangka panjang untuk pemenuhan kebutuhan dari produk domestik.
Menurutnya, ada tiga solusi yang seharusnya pemerintah lakukan. Pertama, merestrukturisasi pabrik gula. Kedua, mengintegrasikan pabrik dengan perkebunan. Terakhir, penghapusan perbedaan standar kualitas gula.