Prospek Perdagangan 2019: Dihantui Perang Dagang dan Tekanan Ekspor

Image title
Oleh Ekarina
1 Januari 2019, 08:00
Pelabuhan ekspor
Katadata

Dampak perang dagang Amerika Serikat (AS) versus Tiongkok diprediksi masih terus berlanjut dan membayangi kinerja sektor perdagangan dunia dan dalam negeri pada 2019. Meski begitu, efek negatif perang dagang diharapkan bisa sedikit diredam, salah satunya dengan mendiversifikasi negara tujuan ekspor serta mulai melakukan perpindahan produk ekspor dari semua berbasis komoditas mentah ke komoditas berbasis manufaktur.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan sektor perdagangan masih memiliki celah untuk mencatat pertumbuhan, meski tak sedikit pula kendala yang dihadapi. Misalnya, harga komoditas minyak mentah dunia yang cenderung melambat di kisaran US$ 60 - US$ 65 per barrel akibat over supply di AS. Penurunan harga minyak dunia menjadi acuan harga komoditas lainnya hingga harganya ikut melambat.

(Baca: Proyeksi Ekonomi 2019: Optimisme Pemerintah vs Pesimisme Lembaga Dunia)

Selain itu, perang dagang yang ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomian AS dan Tiongkok, turut menyebabkan permintaan batubara Tiongkok menjadi tak setinggi 2018. Tantangan lain juga ada pada komoditas perkebunan andalan Indonesia seperti karet dan minyak sawit mentah (CPO) yang hingga saat ini pun masih dibayangi pelemahan harga. Sebab, turun naiknya harga dua komoditas perkebunan tergantung pada harga acuan minyak dunia.

"Akibat dampak perang dagang tersebut, ada kontraksi permintaan komoditas mentah. Karenanya, untuk meningkatkan ekspor harus mulai ada shifting ekspor dari comodity base ke manufacturing base," kata Bhima kepada Katadata.co.id akhir pekan lalu.

Selain itu, untuk pasar utama tujuan dagang seperti Eropa, India dan Tiongkok, menurutnya tidak bisa lagi diandalkan sebagai satu-satunya tumpuan ekspor. Karena seperti diketahui, panas-dingin hubungan dagang Negeri Tirai Bambu dengan Negeri Paman Sam telah menyebabkan ekonomi negara tersebut melambat.

Sementara India diperkirakan masih akan mengenakan tarif yang tinggi terhadap impor CPO. Terlebih menjelang Pemilu, yang mana tarif impor sawit sepertinya tak akan dikurangi demi melindungi produksi minyak nabati negaranya yang saat ini terus dikembangkan.

Dengan berbagai hambatan ekspor baik dari eksternal maupun internal Indonesia, terlebih lagi jika impor masih tetap tinggi, maka pada 2019 Indonesia diperkirakan tetap masih akan mencetak defisit neraca perdagangan. Meski demikian nilai defisit dagang diperkirakan mengecil dibandingkan dengan defisit 2018  yang diestimasi mencapai US$ 8 miliar.

"Pada 2019, defisit neraca dagang kemungkinan akan berada di antara US$ 7 miliar hingga US$ 7,5 miliar. Jumlah itu diprediksi mengecil seiring harga minyak dunia yang menurun," kata Bhima.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari-November 2018 defisit neraca perdagangan Indonesia telah membus US$ 7,5 miliar. Ini merupakan defisit ke delapan, sekaligus menjadi defisit terdalam sepanjang sebelas bulan pertama 2018.

Defisit perdagangan November 2018 disebabkan oleh selisih impor yang lebih tinggi dibandingkan ekspor. Menurut BPS, ekspor periode November 2018 hanya sebesarUS$ 14,83 miliar, sedangkan realisasi impor tercatat lebih tinggi yakni sebesar US$ 16,88 miliar.

Penguatan Ekspor

Meski dihadapi sejumlah tekanan, harapan peningkatan ekspor dan mengurangi defisit neraca dagang tetap ada. Misalnya, terkait upaya pemerintah mendongkrak permintaan CPO dalam negeri melalui kebijakan pencampuran 20% minyak nabati ke dalam bahan bakar diesel atau mandatori B20, diharapkan bisa ikut memperbaiki harga jual CPO karena serapan domestik meningkat.

"Ekspor kemungkinan akan sedikit bergolak. Tapi kalau bisa memanfaatkan celah dan melakukan penetrasi ekspor ke pasar yang belum pernah dijangkau atau mendiversifikasi produk, gejolak itu mungkin bisa ditekan," kata Bhima.

Dia pun mengapresiasi langkah pemerintah yang mulai meneken perjanjian dagang untuk meningkatkan ekspor ke negara alternatif. Pada pertengahan Desember, pemerintah Indonesia secara resmi menandatangani perjanjian dagang kemitraan komprehensif (CEPA) dengan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA). Dengan kesepakatan itu, lebih dari enam ribu tarif bea masuk ke masing-masing negara EFTA, seperti Norwegia, Islandia, Swiss, dan Liechtenstein akan dihapus.

Selain melalui perjanjian dagang, pemerintah menurutnya perlu juga menggencarkan pemasaran produk ekspor ke negara kawasan seperti Eropa Timur atau Timur Tengah untuk menggenjot ekspor.

(Baca: Perang Dagang Berpotensi Memukul Ekspor Komoditas Andalan )

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...