Produksi Rendah Hambat Potensi Ekspor Kayu Manis Lokal
Permintaan pasar dunia untuk komoditas kayu manis Indonesia terus menunjukkan peningkatan yang signifikan. Namun, kesempatan emas untuk memperkukuh kayu manis nasional sebagai komoditas unggulan di pasar internasional masih menghadapi kendala utama yaitu terkait rendahnya produksi.
Data Kementerian Pertanian menyebutkan, produksi kayu manis dalam negeri mencatat penurunan. Tahun ini, produksi kayu manis diprediksi turun hingga 80 ribu ton dibanding produksi pada 2010 sebesar 88 ribu ton.
Tak hanya produksi, performa ekspor kayu manis juga tak menunjukan geliat pertumbuhan yang berarti lantaran pada 2017 kenaikannya hanya sekitar 3,27% menjadi 50.463 ton dengan nilai US$ 148 juta, dari 2016 yang tercatat sebanyak 48.899 ton dengan nilai US$ 94 juta.
(Baca: Ekspor RI Menyusut 6,58% di September 2018)
Bupati Kerinci, Provinsi Jambi Adirozal menyatakan pembibitan menjadi masalah utama produksi kayu manis. "Tidak ada minat dari petani karena pembibitannya sulit, potensi pengalihan lahan tanaman kayu manis menjadi hortikultura sampai separuhnya," kata Adirozal di Jakarta, Senin (22/10).
Padahal, Kabupaten Kerinci sudah mendapatkan sertifikat indikasi geografis spesial untuk komoditas kayu manis. Dengan sertifikais itu, harga juak kayu manis terus melonjak sampai Rp 40 ribu per kilogram dari yang sebelumnya hanya mencapai setengahnya sebelum ada sertifikasi geografis.
Adirozal meminta Pemerintah Provinsi Jambi dan Pemerintah Pusat untuk terus memperhatikan kelansungan produksi kepada kayu manis asal Kerinci. Terlebih sekitar 53 ribu ton produksi kayu manis Kerinci menyumbang sekitar 66% terhadap total produksi kayu manis dalam negeri yang sekitar 80 ribu ton.
Selain pembibitan, para petani Kerinci juga meminta kemudahan pembiayaan untuk mempermudah produksi. "Kayu manis itu tanaman yang panennya bisa 8 tahun sekali sehingga harus ada insentifnya," ujar Adirozal.
Perwakilan Atase Perdagangan Kementerian Perdagangan di Uni Eropa, Merry Astrid, mengungkapkan Indonesia adalah pemasok kayu manis terbanyak di Eropa, jauh di atas Madagaskar, Viertnam, Sri Lanka, Tiongkok, dan India. Pembeli kayu manis Indonesia dari kawasan Eropa di antaranya Belanda, Portugal, Jerman, dan Prancis.
Segmentasi pasar kayu manis, 75% diperuntukan bagi industri makanan dan minuman, 20% pasar retail, dan 5% untuk jasa makanan. "Kita masih terlalu fokus pada ekspor kayu manis untuk bahan baku," kata Merry.
(Baca: Neraca Dagang September 2018 Diprediksi Kembali Defisit US$ 1,5 Miliar)
Oleh karena itu, dia pun mendoron peningkatan standar kayu manis nasional. Sebab, banyak pembeli Eropa mengolah kayu manis untuk digunakan sebagai komoditas yang akan diekspor kembali.
Menurut Merry, peningkatan standar kayu manis menjadi penting untuk memenuhi permintaan pasar Eropa yang cukup tinggi. Kayu manis Indonesia memiliki nilai estetika untuk aroma minuman atau pelengkap rasa roti di Eropa.
Akademisi dari Universitas Ghent Sidi Rana Menggala mengungkapkan permintaan yang tinggi ini akan membuat harga terus meningkat. Sehingga, permintaan terhadap kebutuhan petani untuk bibit dan pendanaan perlu mendapatkan perhatian.
Sebab menurut hitungannya, petani kayu manis berpotensi mendapat penghasilkan Rp 720 juta ketika panen, mesti harus menunggu hingga 2-0 tahun untuk masa tanamnya. Sehingga per bulan, petani hanya akan mendapatkan Rp 3 juta.
Sidi pun mengusulkan pemerintah ikut turun tangan dan menjadi koordinator terhadap sistem kemitraan antara petani dan pengusaha. "Sistem kemitraan akan membuat komitmen yang leih bessar dari pelaku usaha dan juga menunjang produktivitas kayu manis," ujarnya.
Aturan kemitraan petani dan pengusaha bahkan menurut Badan Pelaksana Dewan Rempah Indonesia Sjafruddin Ahmad sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997. Menurutnya, kolaborasi akan mendorong petani mendapat kepastian pasar, peningkatan produksi, kualitas produk, efisiensi, dan keberlanjutan usaha petani.
Dia juga mengusulkan agar pemerintah memperkuat sumber daya manusia tani dengan membentuk lembaga petani. Misalnya, dengan pembinaan dan pengembangan petani, bukan hanya membuka akses pasar di luar negeri.
Selain itu, sistem kelembagaan juga akan meningkatkan kemandirian petani untuk pengembangan produk kayu manis. "Jangan sampai petani kayu manis berubah haluan tanaman karena kekhawatiran harganya rendah atau tidak laku," kata Sjafruddin.
Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Agus Wahyudi membenarkan kemitraan bisa meningkatkan pengetahuan petani terkait produk apa yang diinginkan pasar tradisional. Sehingga, pemerintah bisa melakukan pembinaan dan pengembangan petani.
Agus menjelaskan, fluktuasi harga kayu manis internasional bisa teratasi dengan antisipasi pemenuhan kayu manis sesuai permintaan. Dia mengajak pelaku usaha untuk bekerja sama mengatasi permasalahan teknologi pengolahan yang masih terbatas.
Selain itu, pemenuhan permintaan internasional juga menjadi solusi untuk menjaga ekspor utama dalam perdagangan bebas. "Kita jangan sampai kalah dari Sri Lanka dan India," ujar Agus.