Harga Bahan Baku Naik, Ekspor Produk Farmasi Makin Tertekan
Kenaikan harga bahan baku dan ketatnya persaingan usaha di pasar dunia menekan kinerja ekspor produk farmasi dalam negeri. Tingginya harga bahan baku impor dari negara asalnya seperti Tiongkok juga menjadikan harga produk farmasi dalam negeri menjadi tidak kompetitif.
Ketua Penelitian dan Pengembangan Perdagangan dan Industri Bahan Baku, Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi), Vincent Harijanto, menyebut kenaikan harga bahan baku farmasi impor tak mencakup seluruh komoditas. "Ada kemungkinan seperti itu, jadi produk farmasi untuk ekspor harganya semakin tidak kompetitif," kata Vincent lewat sambungan telepon, Rabu (17/10).
Dia juga menjelaskan bahwa 95% bahan baku farmasi dalam negeri masih berasal dari impor. Sehingga, untuk mengimbangi kenaikan harga bahan baku dan peningkatan biaya produksi, perusahaan farmasi punya pilihan menaikan harga jual obat atau menggenjot ekspor sambil memanfaatkan momentum penguatan kurs dolar.
Ekspor baru berkontribusi sekitar 20% terhadap total omzet industri farmasi yang diperkirakan saat ini sekitar Rp 60 triliun. Sehingga penyerapan produksi farmasi mayoritas masih diperuntukan bagi pasar dalam negeri.
(Baca: Rupiah Melemah, Kalbe Farma Naikan Harga Jual Obat)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor komoditas farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional pada Januari-September 2018 mencatat mengalami penurunan nilai ekspor sebesar 6,85%, menjadi US$ 427,67 juta dari US$ 459,14 juta pada Januari-September 2017. Adapun rinciannya, produk farmasi turun 2,68%, bahan farmasi turun 18,68%, dan simplisia turun 2,23%.
Direktur Kerja Sama Pengembangan Ekspor, Ditjen Pengembangan Ekspor Nasional, Kementerian Perdagangan, Marolop Nainggolan menuturkan kendala utama ekspor farmasi yakni terkait ketatnya persyaratan untuk registrasi produk obat di negara tujuan ekspor. Selain itu, Indonesia juga harus menghadapi persaingan ketat dengan produk farmasi buatan Tiongkok dan India yang memiliki harga jual yang jauh lebih murah.
Karenanya, kegiatan penelitian dan pengembangan produk farmasi inovasi perlu ditingkatkan. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) untuk produk Indonesia juga jadi salah satu solusi jangka panjang yang bisa disinergikan dengan pameran dan misi dagang.
Kementerian Perdagangan pun menjelaskan kerja sama antarnegara atau wilayah harus terus ditingkatkan, khususnya harmonisasi peraturan dalam forum internasional. "Kami harap negara tujuan ekspor dapat dengan mudah menerima produk Indonesia,” kata Marolop.
(Baca : Industri Farmasi Paling Parah Kena Dampak Pelemahan Rupiah)
Catatan Kementerian Perdagangan, pasar farmasi Indonesia mencapai Rp 69 triliun tahun 2016 ditargetkan meningkat hingga Rp 100 triliun pada 2020. Industri farmasi juga salah satu sektor industri penggerak utama ekonomi nasional dengan estimasi penyerapan tenaga kerja sebanyak 40.000 orang. Terdapat sekitar 239 perusahaan farmasi yang beroperasi di Indonesia, mayoritas berada di Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI Jakarta dengan pangsa pasar 70% kebutuhan obat dalam negeri.
Beberapa perusahaan farmasi besar nasional juga berhasil menembus pasar ekspor. Salah satunya PT Bio Farma (Persero),yang telah berhasil mengekspor produk farmasi ke sejumlah negara di dunia. Perusahaan juga tercatat menjadi salah satu produsen vaksin terbesar dunia dengan negara tujuan ekspor sebagian besar di negara berkembang.