Pro-Kontra Pengusaha AS di Balik Pemberian Fasilitas Bea Masuk Impor

Michael Reily
31 Agustus 2018, 16:09
Pelabuhan Ekspor
Katadata

Kajian mengenai fasilitas insentif  bea masuk impor produk Indonesia ke Amerika Serikat (AS) melalui program Generalized System Preferences (GSP) menuai pro dan kontra dari sejumlah pelaku usaha di negeri Paman Sam.

Beberapa pelaku usaha AS yang terdiri dari sektor industri tekstil dan barang-barang perjalanan, perhiasan, dan kayu meminta supaya program tetap dilanjutkan karena memberikan manfat yang besar. Sedangkan pelaku usaha industri susu, produk digital, serta asuransi merekomendasikan menghentikan program tersebut karena Indonesia dinilai telah mempersulit akses pasar pengusaha AS.

Berdasarkan transkrip percakapan dalam sidang GSP AS dengan Indonesia pada 19 Juni 2018, pelaku usaha AS dan Atase Komersial Indonesia Reza Pahlevi Chairul diketahui telah memberi laporan dan rekomendasi mereka terkait pemberian fasilitas GSP.  Adapun pemerintah AS, dalam sidang itu pun ikut memberikan pertanyaan sebagai bahan masukan  dan kajian terkait pemberian fasilitas GSP bagi Indonesia.

Manager of Outdoor Industry Association (OIA) Rich Harper mendukung program GSP terutama untuk produk perjalanan yang berasal dari Indonesia. Alasannya, pencabutan program GSP akan membuat industri bergantung pada produk dari Tiongkok dan Vietnam yang kontribusinya berpotensi mencapai 90%.

Contohnya, impor tas asal Indonesia telah meningkat sebesar 67% tahun 2017 dibandingkan 2016, padahal pembebasan bea masuk tas dari Indonesia baru berlaku 6 bulan. Untuk tas jinjing dan koper, serta benang buatan tangan telah meningkat hampir 500%.

(Baca : Indonesia Berupaya Pertahankan Insentif Tarif Bea Masuk Impor AS)

OIA  merupakan gabungan dari asosiasi perdagangan yang terdiri 1.400 perusahaan  AS, termasuk pula di antaranya penyuplai, manufaktur, serta retail produk-produk perjalanan. Industri perjalanan menghasilkan omzet sebesar US$ 887 miliar dari konsumen dan mempekerjakan 7,6 juta orang.

Senior Vice President, Supply Chain, American Apparel & Footwear Association, and Director of Government Relations, Travel Goods Association Nate Herman juga membenarkan 85% hasil industri barang perjalanan berasal dari Tiongkok dengan bea masuk berkisar dari 176% sampai dengan 20%.

“Kita harus bisa mendiversifikasikan impor selain dari Tiongkok dan GSP bisa membuat itu terjadi,” kata Herman seperti dalam transkrip sidang, dikutip Jumat (31/8).

Pencabutan GSP akan membuat harga produk yang dijual di AS juga menjadi lebih mahal. Herman mengungkapkan, salah satu brand impor asal Indonesia bernama Borne bahkan telah mencatat kenaikan impor hampir 4 kali lipat, dari 4% menjadi 15%. Pada periode yang sama, produk dari Tiongkok justru menurun dari 53% menjadi 19%.

Sementara itu, Chief Operations Officer Timbuk2, Tony Meneghetti, mengatakan pemberian fasilitas GSP diakui telah mampu meningkatkan tenaga kerja perusahaan hingga 10% pada Juli 2018. Contoh pekerjaan yang berhasil ditingkatkan itu pun tersebar, mulai dari desainer produk, staf manufatur, customer service leads, e-com operasional, julah tim pemasaran, serta tim penjualas. Pabrik tas yang beroperasi di San Fransisco, AS pun bakal terus berkembang jika penghematan impor lewat GSP terus berjalan.

Director of Government Affairs for the RV (Recreational Vehicle) Industry Association, Michael Ochs, juga mendukung partisipasi Indonesia dalam program GSP. Sebab, industri RV masih memiliki ketergantungan terhadap produk kayu di Indonesia, khususnya pada jenis kayu lauan dan meranti. “Kami perkirakan 80% impor kedua produk digunankan oleh anggota kami,” ujar Ochs.

(Baca : Ancaman Pencabutan Potongan Bea Masuk Impor AS Tak Berdampak Besar)

Industri RV terdiri dari 350 manufaktur di AS, yang mana sekitar 98% produksinya dalam bentuk kendaraan untuk berkemah, termasuk rumah motor, trailer perjalanan, trailer lima roda, serta truk kampers. Industri RV sendiri saat ini tercatat tekah mempekerjakan sebanyak 289 ribu orang yang tersebar di Indiana, Iowa, Oregon, Michigan, California, dan Ohio.

Industri RV merupakan produk asli Amerika yang sudah ada sejak 100 tahun lalu. Ochs menyebutkan, sekitar 95% produksi RV dunia berasal dari AS. Namun, untuk bahan baku kayu, industri ini tetap masih membutuhkan kedua material dari Indonesia.

Director of Government and Public Affairs for the International Wood Products Association (IWPA) Joseph O’Donnell pun menjelaskan kedua kayu, Lauan dan Meranti, merupakan produk yang terverifikasi SVLK. Sehingga jenis kayu tersebut telah diakui dunia memiliki  legalitas dan bukan merupakan  produk yang berasal dari hasil penebangan illegal.

Halaman:
Reporter: Michael Reily
Editor: Ekarina
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...