Perang Dagang Berpotensi Memukul Ekspor Komoditas Andalan

Rizky Alika
10 Juli 2018, 10:35
Kelapa Sawit
ANTARA FOTO/Rahmad
Pekerja merontokkan buah kelapa sawit dari tandannya di Desa Sido Mulyo, Aceh Utara, Aceh, Kamis (26/10). Para pekerja manyoritas kaum perempuan mengaku, dalam sehari mereka mampu memisahkan dan merontokkan biji kelapa sawit sebanyak 250 kilogram dengan upah Rp200 per kilogram atau menerima upah Rp.50 ribu perhari.

Hubungan dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok kembali memanas pada akhir pekan lalu setelah negeri tirai bambu itu memberi tarif tarif balasan untuk produk AS senilai US$ 34 miliar. Pemerintah pun diminta waspada karena efek perang dagang dikhawatirkan bisa melebar ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan kondisi saat ini sudah cukup mengkhawatirkan karena perang dagang akan memukul kinerja ekspor komoditas unggulan.

"Dampak proteksi dagang beberapa negara khususnya AS, akan memukul kinerja ekspor komoditas unggulan seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan karet," kata dia kepada Katadata, Senin (7/9).

Menurutnya sebelum ada perang dagang, berdasarkan evaluasi produk asal Indonesia, ekspor CPO sudah minus 15,6% secara tahunan (year on year/yoy). Sementara itu, karet anjlok 21,4% pada periode Jan-Mei 2018 dibanding tahun lalu.
Padahal, kedua komoditas primer tersebut berkontribusi sebesar 16% dari total ekspor non migas.

(Baca : BI Sebut Perang Dagang Ganggu Laju Ekonomi dan Picu Kenaikan Bunga AS)

Selain itu, ia juga memperkirakan kinerja ekspor berisiko turun, defisit perdagangan juga kemungkinan berlanjut hingga semester kedua karena ekspor yang melambat, sementara impor naik. "Permintaan valas semakin tinggi dan ujung-ujungnya rupiah menjadi rentan terdepresiasi," ujar Bhima.

Terlebih dengan posisi Indonesia yang berada di rantai pasok paling bawah sebagai pemasok dan pengimpor bahan baku industri  menyebabkan Indonesia rentan terdampak kebijakan  proteksi dagang dari negara mitra.

Sementara itu, jika Indonesia ikut melakukan aksi balasan dengan menaikan tarif bea masuk produk asal Amerika, dampaknya bisa langsung terasa pada kenaikan harga sejumlah bahan kebutuhan pokok.

Untuk komoditas kedelai misalnya, menurut catatan Bhima pada 2017 Indonesia mengimpor kedelai segar dan olahan hingga 6,9 juta ton. Dari total impor tersebut sebanyak 2,6 juta ton atau sekitar 37% di antaranya berasal dari AS. 

Komoditas lain yang juga rentan terdampak kebijakan dagang adalah gandum.  Yang mana impor gandum dari Amerika tahun lalu juga telah mencapai 1,1 juta ton per tahun.

(Baca juga: Soal Ancaman Tarif, Indonesia Siap Lobi AS dan Tempuh Jalur Negosiasi)

"Bahan baku kedelai harganya naik, harga tempe tahu pasti akan naik juga. Gandum juga sama, sebagai bahan baku mie instan," katanya.

Dengan demikian, kelompok masyarakat bawah diperkirakan akan terpukul pertama kali.

Halaman:
Editor: Ekarina
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...