Dubes RI Dorong Pengusaha Ekspor Makanan hingga Tekstil ke Peru
Pemerintah terus mendorong peningkatan ekspor komoditas Indonesia ke negara non tradisional, seperti Amerika Selatan. Duta Besar Indonesia untuk Peru dan Bilovia, Marina Estella Anwar Bey pun mengajak para pengusaha untuk meningkatkan ekspor ke negara tersebut.
Menurutnya, peluang Indonesia memasok lebih banyak ekspor komoditas ke Peru terbuka lebar. "Daya beli mereka tinggi dan mereka cukup konsumtif," kata Marina dalam webinar perdagangan, Jumat (7/8).
Industri Peru menurutnya tidak berkembang sehingga untuk memenuhi kebutuhannya, negara tersebut bergantung pada impor. Di sisi lain, Peru juga menjadi negara dengan perekonomian yang stabil.
Marina mencatat, produk Indonesia yang sudah masuk Peru meliputi mi instan, cokelat, gula, nanas kaleng, kopi luwak, tekstil, baju dan sepatu olahraga, mobil dan suku cadangnya, kertas, mebel, bulu mata, hingga mesin cuci.
Sedangkan, produk yang berpotensi diekspor ke Peru meliputi bumbu dapur siap pakai dan mentega, plastik kemasan, tekstil, alat kesehatan, suku cadang dan akesoris kendaraan , hingga produk mebel.
Saat ini, Tiongkok, Amerika Serikat, dan Brazil, menurupakan negara eksportir utama ke Peru. Sementara, Indonesia masih menduduki peringkat ke-23, lebih rendah dari negara Asean lainnya seperti Thailand dan Vietnam.
Kedua negara telah menargetkan peningkatan perdagangan hingga mencapai US$ 1 miliar pada 2025. Namun, target itu diperkirakan sulit tercapai.
"Karena dalam lima tahun terakhir, nilai perdagangan kedua negara berkisar US$ 300 jutaan," ujar dia.
Berdasarkan data yang diolah KBRI Lima, total perdagangan Indonesia-Peru pada 2017 mencapai US$ 386,7 juta dengan capaian surplus bagi Indonesia sebesar US$ 316,5 juta. Pada 2018, total perdag angan kedua negara menurun tipis, yaitu US$ 325,2 juta dengan surplus bagi Indonesia US$ 247 juta.
Pada 2019, total perdagangan Indonesia-Peru kembali meningkat menjadi US$ 342 juta. Neraca Indonesia tercatat surplus terhadap Peru sebesar US$ 221,6 juta.
Adapun, total ekspor Indonesia ke Peru mencapai US$ 281,8 juta dengan ekspor terbesar mobil (56%), sepatu (13%), dan kertas (10%). Sementara, impor Peru ke Indonesia menacapai US$ 60,2 juta yang didominasi oleh biji kakako (66%), anggur segar (13%), dan zinc (11%).
Marina mengatakan, ekspor Indonesia pada 2019 menurun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar US$ 286,1 juta dikarenakan Indonesia sudah tidak mengekspor biodiesel.
Selain Peru, diapun menjabarkan peluang peningkatan ekspor ke Bolivia. "Mereka memiliki preferensi bagus terhadap produk Indonesia sehingga mereka sengan berdagang dengan kita," ujar Marina.
Meski begitu, Bolivia merupakan negara land lock yang tidak memiliki pelabuhan. Tak hanya itu, bea masuk ke negara tersebut juga tinggi.
Di sisi lain, Indonesia tidak memiliki kedutaan di Bolivia sehingga legalisasi surat sulit dilakukan.
Padahal, beberapa komoditas yang berpotensi diekspor ke Bolivia tidak jauh berbeda dengan Peru, seperti suku cadang. baterai kendaraan, produk garmen, minyak goreng, dan produk seafood kaleng.
Berdasarkan data yang diolah KBRI Lima, total perdagangan Indonesia-Bolivia pada 2019 mencapai US$ 56 ,8 juta dengan total ekspor ke Bolivia sebesar US$ 55,3 juta dan impor US$ 1,5 juta. Ini artinya, Indonesia surplus US$ 53,8 juta.
Adapun produk ekspor Indonesia ke Bolivia meliputi mesin piston dengan andil sebesar 43%, decoder 20%, dan alas kaki 19%. Sementara, impor dari Bolivia ialah natural sodium borates sebesar 47%, bijih besi 46%, kayu 6%, dan tepung sereal 1%.
Kalangan pengusaha sebelummya mengatakan, pemerintah perlu lebih beradaptasi dengan kebutuhan pasar global di tengah persaingan perdagangan dunia yang sedang ketat akibat pademi corona.
"Pelaku usaha dan eksportir harus pintar beradaptasi dengan kebutuhan pasar dan menciptakan efisiensi yang lebih tinggi," kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani kepada Katadata, Senin (15/6).
Menurutnya, adaptasi dan efisiensi perdagangan tersebut diperlukan lantaran kondisi permintaan pasar yang sedang menyusut, sehingga persaingan dagang meningkat tajam. Dengan situasi tersebut, hanya supplier yang paling efisien dan paling menjawab kebutuhan pasar yang mampu mencetak transaksi perdagangan.
Meski begitu, Indonesia seharusnya bisa lebih responsif dalam memanfaatkan pasar-pasar dunia yang masih memiliki permintaan cukup tinggi terhadap komoditas tertentu.
"Kita bisa menekan ketajaman penurunan kinerja ekspor tersebut," ujar dia.