Delta Djakarta Khawatir RUU Larangan Minol Ganggu Kelangsungan Usaha
Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai polemik di masyarakat. Produsen minuman berakohol, Delta Djakarta pun angkat suara mengenai rancangan kebijakan yang dianggap tidak tepat digulirkan saat iklim usaha lesu akibat Covid-19.
Komisaris Utama Delta Djakarta, Sarman Simanjorang mengatakan di masa sulit seperti sekarang ini, dunia usaha sangat memerlukan iklim usaha dan investasi yang kondusif. Dukungan lain yang tak kalah penting seharusnya datang dari sisi regulasi.
Pasalnya, pelaku usaha mengalami tekanan dan beban berat akibat pandemi Covid-19. Menurunnya omzet penjualan akibat daya beli masyarakat melemah membuat cashflow pengusaha semakin tergerus.
Hal ini menurutnya turut dialami industri minuman beralkohol. Produsen bir terpukul akibat pembatasan operasional berbagai hotel, restoran, cafe bahkan di hiburan malam selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
"Jakarta sudah 8 bulan tutup yang membuat penjualan produsen bir anjlok sampai 60%, namun sejauh ini industri minol masih mampu bertahan dan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)," kata Sarman dalam siaran pers, Sabtu (14/11).
Di tengah tekanan yang dialami industri, Sarman mengaku terkejut mendengar kabar DPR kembali akan membahas RUU Larangan Minuman Beralkohol yang 5 tahun lalu sudah pernah dibahas namun tak memiliki kelanjutan.
Oleh karena itu, dia berharap kelanjutan pembahasan RUU seharusnya dilakukan dengan memperhatikan momentum yang tepat, seperti pasca pandemi Covid-19 atau saat ekonomi dalam negeri dalam kondisi normal.
"Di tengah tekanan resesi ekonomi saat ini, kurang tepat membahas yang berkaitan dengan kelangsungan dunia usaha khususnya industri minol. Karenanya, mari kita fokus bersama melawan pendemi covid 19 dan percepatan pemulihan ekonomi nasional," ujarnya.
Pelaku industru memberikan masukan dan pokok pokok pikiran dalam RUU tersebut. Termasuk dari sisi judul, agar tidak memakai RUU Larangan Minuman Beralkohol dan menggantinya dengan RUU Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol sehingga arahnya edukasi.
Dia berdalih, keterlibatan industri minol dalam perekonomian nasional sudah berlangsung hampir satu abad. Terlebih dalam investasi sektor ini terdapat pula penanam modal asing (PMA).
"Kontribusinya pun jelas baik dari disisi pajak maupun cukai alkohol yang mencapai Rp 6 triliun setahun. Tenaga kerja mencapai 5.000 orang ditambah industri penunjang seperti pertanian, logistik, industri kemasan, distribusi dan jasa perdagangan, jasa hiburan, rekreasi, pariwisata dan budaya," katanya.
Dia lebih sepakat bila peredaran minuman beralkohol ini diatur dan diawasi sebagai bagian dari edukasi kepada masyarakat tentang bahaya penyalahgunaan minuman ini.
Sedangkan pelarangan peredaran dikawatirkan membuka celah masuknya minol seludupan yang tidak membayar pajak, minol palsu yang tidak sesuai standar pangan serta minol oplosan yang membahayakan konsumen.
Menurutnya, selama ini sudah ada Peraturan Presiden No.74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan minuma Beralkohol dan implermentasi dilapangan sudah berjalan efektif.
Bahkan tahun tahun 2014 Menteri Perdagangan mengeluarkan Permendag No.20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan,Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol dimana penjualan minol sudah lebih tertata hannya ditempat tertentu.
"Dengan demikian sebenarnya urgensi RUU ini tidak mendesak,namun semuanya kembali kepada DPR," ujar Sarman.
Respons negatif sebelumnya disampaikan pengusaha restoran dan kafe. Pengusaha mengatakan aturan tersebut akan berdampak pada penurunan omzet. Hal ini lantaran makanan dan minuman memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan hotel dan restoran. Dampak tersebut diperkirakan akan terjadi terutama di wilayah seperti Bali dan Jakarta.
"Kalau belum clear lebih baik dikaji ulang, dilihat kembali apa tujuannya," kata Ketua Bidang Legal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bambang Britono saat dihubungi Katadata.co.id, Jumat (13/11).
Berdasarkan data PHRI yang dikutip dari Heineken pada tahun 2014, Indonesia merupakan konsumen bir terendah di kawasan Asia Pasifik. Konsumsi bir di Indonesia tercatat 1,1 liter per kapita atau di bawah Myanmar sebanyak 3 liter bir per kapita.
Sedangkan dari data organisasi kesehatan dunia (WHO), konsumsi minuman beralkohol per kapita di RI hanya 0,8 liter pada 2016 lalu. Angka ini berada di bawah rata-rata Malaysia yakni 0,9 liter per kapita, Singapura 2 liter per kapita, Filipina 6,6 liter per kapita, dan Thailand yakni 8,3 liter per kapita.
Draf RUU tersebut juga menyatakan ada perkecualian konsumsi alkohol di kawasan wisata. Namun Bambang tetap menilai aturan tersebut tetap bisa mencoreng wajah RI dalam kancah pariwisata global, apalagi tolok ukur ketentuan tersebut sulit diidentifikasi.
Tiru Kebijakan Amerika Serikat
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Eddy Sutanto menyarankan, pengaturan minuman alkohol sebaiknya mengacu pada negara lain, seperti Amerika Serikat.
"Semestinya pengaturan berdasarkan usia, di bawah 21 tahun tidak boleh konsumsi. Harus dibuktikan dengan kartu identitas," ujar dia.
Ia pun khawatir, aturan tersebut dapat menjadi membingungkan dalam implementasinya. Aturan tersebut juga diperkirakan bisa berdampak besar terhadap penurunan omzet restoran dan kafe.
"Ini bisa menjadi pasal karet, siapa saja bisa di-sweeping," ujar dia. Namun, ia menyatakan tidak banyak anggota Apkrindo yang menjual minuman beralkohol.
RUU ini diajukan 18 anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dua anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan seorang anggota Fraksi Partai Gerindra.
Salah seorang pengusul dari Fraksi PPP, Illiza Sa'aduddin Djamal beralasan larangan minuman beralkohol merupakan amanah konstitusi dan agama. Dia menyinggung Pasal 28H ayat 1 undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 berbunyi, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
"RUU ini bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban, dan ketentraman masyarakat dari peminum minuman beralkohol," ujar mantan Wali Kota Banda Aceh ini.
Meski demikian pendapat dewan terbelah mengenai usulan RUU ini. Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Ahmad Sahroni beranggapan aturan ini belum diperlukan lantaran berpotensi memunculkan penyelundupan alkohol. Hal yang penting menurutnya adalah penegakkan regulasi yang ada secara ketat.
"Aturan soal larangan konsumsi alkohol di bawah 21 tahun belum benar-bener ditegakkan. Begitu juga larangan menyetir ketika mabuk," ujarnya dikutip dari Antara, Jumat (13/11).
Berdasarkan Pasal 7 dan 20 RUU Larangan Minuman Alkohol, ancaman pidana bagi mereka yang meminum minol adalah pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling sedikit Rp 10 juta.
Sedangkan Pasal 8 ayat (1) dan (2) menyebutkan, larangan memproduksi, menyimpan, mengedarkan, menjual, dan mengonsumsi minuman alkohol dikecualikan untuk kepentingan terbatas.
Adapun, kontribusi minuman alkohol terhadap penerimaan cukai minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) pada 2016 sebanyak Rp 2,9 triliun untuk golongan A, Rp 1,65 triliun untuk golongan B, dan Rp 564 miliar untuk golongan C.