Garuda Maintenance Rugi Rp 50 M Akibat Pembengkakan Beban Usaha
Emiten yang bergerak di bidang perawatan pesawat, PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMFI) mencatat rugi bersih US$ 3,1 juta atau sekitar Rp 50,8 miliar pada 2019. Anak usaha PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) tersebut membukukan rugi, salah satunya disebabkan oleh nsiknya sejumah komponen beban.
GMF semula membukukan pendapatan US$ 519 juta yang berasal dari pendapatan reparasi dan overhaul, perawatan dan operasi lainnya. Angka itu meningkat sekitar 10,4% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya US$ 470 juta seiring adanya kenaikan transaksi pendapatan dari Garuda Indonesia, Citilink dan Sriwijaya Air.
(Baca: Garuda Akan Pangkas Enam Anak Usaha, termasuk Garuda Tauberes)
Kendati demikian, pendapatan perseroan tertekan komponen beban usaha, seperti beban pegawai naik 1,6%, beban penyusutan naik 13%. Sedangkan beban material dan beban sub kontrak naik paling tinggi yakni sekitar 37,5% dan 23%.
"Peningkatan beban material salah satunya disebabkan oleh melonjaknya biaya pembelian suku cadang expanable, suku cadang repairable dan bahan bakar," tulis GMF Aero dalam laporan kinerja keuangannya, dikutip, Senin (6/4).
Sehingga, GMF mencatat laba usaha US$ 15 juta, turun 46% dibanding tahun sebelumnya sebesar US$ 28 juta. Laba perseroan kembali tertekan seiring dengan meningkatnya beban keuangan perusahaan menjadi sekitar US$ 19,5 juta dari US$ 16,1 juta.
Selain itu, menyusutnya pendapatan lain-lain perseroan dari US$ 7,9 juta menjadi hanya US$ 1,9 juta juga ikut mengakibatkan perseroan akhirnya membukukan rugi sebelum pajak US$ 2,1 juta. Angka ini berbanding terbalik dibanding periode sebelumnya yang mencatat laba sebelum pajak US$ 21 juta.
(Baca: Erick Thohir Ungkap Banyak BUMN Terpukul Corona: Utang Naik, Kas Minus)
Adapun setelah dikurangi pajak penghasilan, perseroan akhirnya membukukan rugi tahun berjalan US$ 2,9 juta dan laba bersih US$ 3,18 juta.
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Miliki Negara (BUMN), Erick Thohir menyatakan, pandemi virus corona telah berimbas terhadap operasional dan bisnis sejumlah perusahaan pelat merah di bidang maskapai penerbangan. Hal tersebut diungkapkannya dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VI DPR RI.
Salah satu sorotan Menteri BUMN yakni terkait kinerja induk GMF, PT Garuda Indonesia Tbk. Menurut Erick, Garuda merupakan perusahaan pelat merah yang situasinya paling mengkhawatirkan.
Sebab, emiten berkode GIAA tersebut memiliki utang jatuh tempo US$ 500 juta. Ditambah, situasi industri penerbangan saat ini sedang lesu akibat terhentinya beberapa penerbangan ke luar negeri. “Jadi, cashflow Garuda juga negatif,” jelasnya.