Sejumlah Bank Besar Mulai Hentikan Pendanaan ke Perusahaan Batu Bara
Penguatan komitmen iklim dan gelombang percepatan transisi energi di banyak negara membawa konsekuensi di mana banyak bank mulai menarik diri dari pendanaan ke sejumlah perusahaan batu bara. Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Andri Prasetiyo mengatakan kondisi yang demikian akan membuat perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang sedang dalam proses memperpanjang izin operasi mengalami banyak hambatan.
"Industri batu bara butuh dukungan dari lembaga finansial, tetapi lembaga finansial tidak lagi membutuhkan sektor ini karena pertimbangan resiko bisnis dan reputasi jika tetap mendanai sektor batu bara," kata Andri dalam diskusi daring bertajuk Nasib Perpanjangan Kontrak PKP2B di Tengah Menyusutnya Pendanaan Batu Bara pada Kamis (14/7).
Andri menambahkan, hambatan tersebut tetap ada walau saat ini harga batu bara sedang melambung tinggi akibat krisis energi global. Perbankan lebih mempertimbangkan kepastian bisnis jangka panjang di tengah meningkatnya tekanan publik perihal keterlibatan bank dengan perusahaan penghasil emisi.
"Lagipula harga batu bata itukan sifatnya relatif liar. Di sisi lain, bank juga berfikir secara kepastian bisnis dan reputasi mereka agar tidak hancur," sambung Andri.
Di forum yang sama, Juru Kampanye Market Forces, Nabilla Gunawan mengatakan bahwa Standard Chartered, salah satu bank terbesar di Inggris telah menghentikan dukungan pendanaan ke perusahaan batu bara terbesar kedua di Indonesia, PT Adaro Indonesia. “Seharusnya Standard Chartered memutuskan kebijakan penghentian pendanaan itu sejak dulu. Pemberi pinjaman lain seperti HSBC, SMBC, Mizuho, OCBC, dan CIMB, memiliki kebijakan pengecualian batu bara tetapi masih membiayai Adaro," ujar Nabilla.
Mengutip laporan yang ditulis oleh Capital Monitor pada 22 Juni 2022 lalu, Standard Chartered telah mengakhiri hubungannya dengan Adaro Indonesia, anak perusahaan dari grup Adaro Energy, pada 26 April. Langkah ini diambil setelah Standard Chartered berjanji untuk berhenti menyediakan layanan keuangan kepada perusahaan pertambangan dan pembangkit listrik yang memperoleh 100% pendapatan mereka dari batu bara termal.
Pada April 2021, Standard Chartered dilaporkan sebagai salah satu dari beberapa bank internasional yang memberikan pinjaman $400 juta yang jatuh tempo pada tahun 2026 kepada Adaro Indonesia. Sejak 2006, bank telah menyediakan setidaknya $300 juta dalam pendanaan untuk Adaro Energy dan anak perusahaannya.
Selain Standard Chartered, terdapat sejumlah bank internasional yang mengatakan berkomitmen untuk tidak lagi membiayai operasional perusahaan batu bara. Melansir laporan Institute dor Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Coal Divestment, bank asal Singapura DBS mengatakan akan menghentikan pembiayaan terhadap nasabah yang memperoleh lebih dari 50% pendapatan dari batu bara termal mulai Januari 2026.
Bank asal Singapura lainnya, OCBC, juga mengambil sikap serupa. Mereka menyebut tidak akan memberikan pembiayaan baru atau pendanaan ulang untuk tambang batu bara termal termasuk ekspansi dan pemurnian yang signifikan dari tambang yang sudah ada atau yang beroperasi.
Selanjutnya, lembaga pinjaman asal Jepang, Mizuho juga mengatakan mereka tidak menyediakan pembiayaan atau investasi untuk proyek penambangan batu bara termal yang baru. Bank internasional asal Asia lainnya seperti SMBC juga menyampaikan mereka tidak lagi memberikan pendanaan untuk proyek perluasan pertambangan maupun proyek pertambangan batu bara termal yang baru.
Adapun sikap yang sama juga diutarakan oleh ANZ. Bank asal Australia itu menyebut tidak akan secara langsung mendanai pembangkit listrik tenaga batu bara baru, termasuk ekspansi. Pinjaman langsung yang ada akan habis pada tahun 2030.
Di sisi lain, Andri menyayangkan sikap-sikap bank dalam negeri yang belum berani mengambil sikap tegas terhadap kebijakan mereka yang masih mendanai proyek pertambangan batu bara. Akan tetapi dalam tiga tahun terakhir, sejumlah bank dalam negeri sudah memberikan beberapa sinyal seperti adanya wacana Environmental, Social, and Governance (ESG) yang digunakan untuk mengukur keberlanjutan dan dampak etis dari hasil investasi dalam bisnis atau perusahaan. Mereka juga dirasa sudah mendapat dorongan untuk mengubah kebijakan mereka ke pendanaan hijau.
"Bank lokal masih setengah hati dari pendanaan batu bara. BRI pernah menyatakan itu, tapi belum ada keterangan tertulis pasca komitmen verbal mereka di konferensi World Economic Forum Swiss lalu," tukas Andri.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan penjualan batu bara Indonesia di pasar domestik mencapai 133,04 juta ton pada 2021. Mayoritas penjualan batu bara domestik ditujukan untuk pembangkit listrik, dengan volume 112,13 juta ton. Ini mencakup 84,3% dari total penjualan domestik.
Penjualan batu bara domestik juga ditujukan untuk industri besi, baja, dan metalurgi sebanyak 11,39 juta ton, 4,68 juta ton untuk industri semen, tekstil, dan pupuk, 1,12 juta ton untuk industri pulp dan kertas, serta untuk kebutuhan industri lainnya 3,72 juta ton.