Sampah Makanan Naik 31% pada 2030, Food Bank Dinilai Bisa Jadi Solusi
Jumlah sampah makanan (food waste) di Indonesia masih tinggi. Bahkan, Badan Pangan Nasional memproyeksikan, sampah makanan akan meningkat hingga 31% pada 2030.
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menuturkan pemerintah perlu melakukan berbagai upaya untuk bisa mengatasi permasalahan tersebut, seperti mendorong food bank untuk menampung dan menyalurkan makanan berlebih dari restoran, hotel, toko makanan, dan rumah tangga kepada masyarakat miskin yang membutuhkan.
Menurut Bhima, praktik food bank sudah cukup banyak dilakukan di negara lain, terutama di tengah mahalnya biaya kebutuhan pangan.
“Tapi tetap kita harus menumbuhkan kesadaran masyarakat. Karena rendahnya kesadaran masyarakat terkait isu sampah makanan ini, juga menjadi salah satu kendala utamanya,” ujar Bhima saat dihubungi Katadata.co.id, Selasa (31/10).
Berdasarkan data dari United Nations Environment Programme (UNEP) atau Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2020, Indonesia menempati peringkat keempat untuk tingkat sampah makanan tertinggi di dunia yakni sebesar 20,94 juta metrik ton.
Bhima mengatakan, sampah makanan di Indonesia bisa semakin parah karena kesadaran masyarakat akan potensi bahayanya masih rendah. Padahal, sisa sampah makanan dapat memberikan kontribusi signifikan pada emisi gas metana yang berpotensi merusak lingkungan.
Untuk itu, Bhima menegaskan bahwa pemerintah seharusnya memberikan sanksi kepada pengelola restoran, cafe, katering yang menimbulkan sampah makanan secara berlebihan. Pasalnya, masih terdapat sejumlah restoran yang seenaknya dalam membuang sampah makanannya.
Selain itu, dia menyampaikan bahwa pemerintah juga perlu memberikan edukasi kepada masyarakat terkait pengolahan sampah makanan atau organik, dari level tinggi hingga level terendah yakni di tingkat RT atau desa.
“Edukasi yang diberikan, bisa dalam bentuk edukasi melalui program pemerintah daerah dan sosial media (menggaet figur publik dan influencer),” kata Bhima.
Dia mengatakan, upaya paling mudah yang bisa dilakukan pemerintah dalam mengurangi jumlah sampah makanan yakni, dengan manajemen pengelolaan dan pemilahan sampah yang konsisten dari rumah tangga, rumah makan hingga ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Sementara itu, Founder dan CEO Waste4Change, Mohamad Bijaksana Junerosano mengatakan, pemerintah harus menetapkan tarif jasa atau retribusi persampahan. Misalnya, tarif ditetapkan berdasarkan satuan volume sampah makanan. Dengan begitu, makin banyak sampah yang dihasilkan, maka semakin banyak biaya yang harus dibayar.
“Hal ini akan mendorong masyarakat otomatis tidak mau menghasilkan sampah atau mengurangi sampah, atau mengolah sendiri sampahnya,” kata dia.
Kerugian Akibat Sampah Makanan
Sebelumnya, Badan Pangan Nasional mencatat total kerugian dari sampah makanan atau food waste di dalam negeri pada 2000-2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun. Volume tersebut setara dengan Rp 213 triliun sampai Rp 551 triliun per tahun.
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), volume timbunan sampah di Indonesia pada 2022 mencapai 19,45 juta ton. Angka tersebut menurun 37,52% dari 2021 yang sebanyak 31,13 juta ton.
Berdasarkan jenisnya, mayoritas timbulan sampah nasional pada 2022 berupa sampah sisa makanan dengan proporsi 41,55%. Kemudian sampah plastik berada di urutan kedua dengan proporsi 18,55%. Kemudian, sebanyak 13,27% sampah di Indonesia pada 2022 berupa kayu/ranting, 11,04% sampah kertas/karton, dan sampah logam 2,86%.
Ada pula 2,54% sampah kain, sampah kaca 1,96%, sampah karet/kulit 1,68%, dan 6,55% sampah jenis lainnya. Berdasarkan provinsinya, timbulan sampah terbanyak pada 2022 berasal dari Jawa Tengah, yakni 4,25 juta ton atau 21,85% dari total timbulan sampah nasional.