Negara-negara Penghasil Bahan Bakar Fosil Gagal Memenuhi Target Iklim
Kanada dan negara-negara penghasil bahan bakar fosil utama lainnya gagal memenuhi target untuk menjaga perubahan iklim sehingga mengancam keberlanjutan transisi energi dunia. Hal ini terungkap dalam sebuah laporan internasional yang baru saja dirilis pada Rabu (8/11).
Laporan "The 2023 Production Gap" menyebut bahwa negara-negara tersebut berencana untuk memproduksi bahan bakar fosil 110% lebih banyak pada 2030 dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk menjaga pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri. Produksi bahan bakar fosil itu juga 69 persen lebih banyak dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai target 2 derajat Celcius.
"Rencana-rencana ini membuat transisi energi global menjadi dipertanyakan. Pemerintah harus berhenti mengatakan satu hal dan melakukan hal yang lain, terutama yang berkaitan dengan produksi dan konsumsi bahan bakar fosil," tulis Inger Andersen, direktur eksekutif United Nations Environment Programme, dalam kata pengantar untuk laporan tersebut.
Laporan yang disusun oleh United Nations Environment Programme, International Institute for Sustainable Development yang berbasis di Winnipeg, dan beberapa kelompok iklim terkemuka lainnya itu diterbitkan menjelang konferensi iklim COP28 akhir bulan ini di Dubai. Dalam pertemuan itu para pemimpin dunia akan mendiskusikan upaya-upaya untuk mengurangi emisi global.
Dari 20 negara penghasil bahan bakar fosil utama yang diprofilkan dalam laporan tersebut, peningkatan produksi minyak Kanada yang direncanakan untuk tahun 2030 berada di belakang Brasil, Amerika Serikat, dan Arab Saudi. Namun, target produksi minyak Kanada ini sedikit di atas Rusia dan Kuwait. Sementara itu, Norwegia dan Inggris adalah dua negara yang diproyeksikan akan mengalami penurunan produksi minyak dan gas pada tahun 2030.
Pada tahun 2030, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan emisi global harus dikurangi sebesar 43 persen dibandingkan dengan tingkat emisi2019 untuk menjaga pemanasan di tingkat 1,5 derajat Celcius dan untuk mencapai target nol emisi pada 2050. Meskipun sebagian besar negara telah berjanji untuk mencapai target nol emisi, laporan tersebut mengatakan bahwa tidak ada negara yang berkomitmen untuk mengurangi produksi sesuai dengan batas 1,5 derajat Celcius.
"Meskipun pemerintah di seluruh dunia telah menyetujui target net zero yang ambisius, produksi batu bara, minyak, dan gas global masih terus meningkat, sementara pengurangan yang direncanakan masih jauh dari cukup untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim," ujar Angela Picciariello, peneliti senior dari International Institute for Sustainable Development.
Perjanjian Paris 2015 menetapkan komitmen global untuk menjaga kenaikan suhu rata-rata di bawah 2 derajat Celcius dibandingkan dengan masa pra-industri dan menargetkan 1,5 derajat Celcius. Para ilmuwan mengatakan bahwa melewati ambang batas 1,5 derajat Celcius dapat menimbulkan beberapa dampak perubahan iklim yang paling parah, seperti gelombang panas yang lebih sering terjadi dan lebih parah.
Laporan ini muncul setelah Komisi Lingkungan Federal Kanada merilis audit pada Selasa (7/11). Audit tersebut menemukan bahwa Kanada masih jauh dari target emisinya untuk 2030 dan kurang dari separuh kebijakan yang diuraikan dalam Rencana Pengurangan Emisi memiliki jadwal pelaksanaan.
Mengakhiri Pembiayaan Publik untuk Proyek Bahan Bakar Fosil
Namun demikian, laporan internasional ini juga menyoroti beberapa tanda yang menggembirakan. Laporan tersebut mencatat bahwa Kanada adalah salah satu negara yang telah mengambil langkah-langkah untuk mengakhiri pembiayaan publik internasional untuk proyek-proyek bahan bakar fosil.
The 2023 Gap Production juga mengatakan bahwa Kanada telah bergabung dengan tiga negara lainnya, yakni Cina, Jerman, dan Indonesia dalam memulai pengembangan skenario untuk produksi bahan bakar fosil domestik yang konsisten dengan target net zero emission (NZE) nasional atau global.
Laporan ini memandang negatif teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon. Teknologi-teknologi tersebut dapat berperan dalam membantu mengurangi jejak emisi dari sektor-sektor yang sulit bertransisi. Namun, teknologi-teknologi tersebut bukan merupakan izin gratis untuk melanjutkan bisnis seperti biasa. Sekitar 80 persen proyek percontohan penangkapan karbon selama 30 tahun terakhir telah gagal, kata laporan tersebut.
"Mengandalkan teknologi yang sebagian besar belum terbukti dan relatif mahal ini untuk diterapkan dalam skala besar merupakan strategi yang berpotensi berisiko dan berbahaya," demikian tertulis dalam laporan tersebut.
Mengingat apa yang disebut oleh laporan tersebut sebagai "risiko dan ketidakpastian penangkapan karbon," negara-negara di dunia harus menargetkan penghentian total produksi batu bara pada 2040. Selain itu, negara-negara harus mengurangi gabungan produksi minyak dan gas hingga 75% pada 2050 dari tingkat produksi tahun 2020.
Banyak negara juga mempromosikan gas sebagai bahan bakar transisi, tanpa ada rencana yang jelas untuk beralih dari bahan bakar tersebut. "Gas dapat menghambat atau menunda transisi ke sistem energi terbarukan dengan mengunci sistem dan institusi berbasis bahan bakar fosil," kata laporan itu.