Pensiun Dini PLTU Jadi Tantangan Terbesar Implementasi JETP Indonesia
Indonesia akan merinci rencana investasi yang telah lama ditunggu-tunggu untuk Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan (Just Energy Transition Partnerships/JETP). Indonesia telah mendapatkan komitmen sebesar US$ 20 miliar atau setara dengan Rp 313,88 miliar (asumsi kurs Rp 15.694,05/US$), namun pendanaannya belum direalisasikan.
JETP adalah skema pembiayaan, dimana anggota G7, bank multilateral, dan pemberi pinjaman swasta membantu negara-negara berkembang melakukan dekarbonisasi dan beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan.
Salah satu bank yang terlibat, MUFG, mengatakan pihaknya telah bernegosiasi dengan pemerintah dan lembaga swasta di Indonesia dalam empat bulan terakhir, untuk memberikan modal bagi rencana transisi energi.
Chief Regulatory Engagement Officer MUFG Tomohiro Ishikawa mengatakan, salah satu tantangan terbesar adalah penghapusan penggunaan batu bara secara bertahap di Indonesia. Ia menjelaskan, kelebihan kapasitas batu bara dapat menghambat penghentian dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Ini sebuah masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh pendanaan swasta saja.
"Negara-negara G7 atau negara donor lainnya harus memberikan hibah dan pinjaman lunak, agar tujuan pensiun dini PLTU di Indonesia dapat tercapai," kata Ishikawa, dikutip dari International Financial Review, Sabtu (11/11).
Skema JETP terdiri dari investasi ekuitas, hibah, dan pinjaman lunak atau komersial. Meskipun pembiayaan pemerintah sering kali menawarkan pinjaman dengan harga di bawah pasar, pembiayaan dari sektor swasta lebih mahal.
"Alokasi akhir akan diawasi dengan ketat karena cara pendanaan untuk Indonesia diorganisasikan, akan menjadi preseden bagi beberapa JETP lain yang telah ditandatangani," kata Direktur ESG Investment Research Sustainable Fitch Melissa Cheok.
Suku bunga yang tinggi di negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) juga mengancam aliran modal di negara-negara berkembang. Sebab, imbal hasil yang lebih tinggi yang ditawarkan oleh aset-aset berisiko rendah, akan mengurangi permintaan terhadap investasi yang lebih berisiko, seperti energi terbarukan. Apalagi investasi ke energi terbarukan seringkali tidak langsung menghasilkan di tahun-tahun awal.
Hal ini kemungkinan akan menjauhkan pembiayaan energi ramah lingkungan dari tujuan iklim yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris yang ditetapkan 2015 lalu.
International Finance Corporation memperkirakan bahwa investasi energi ramah lingkungan tahunan di negara-negara berkembang perlu meningkat tiga kali lipat pada tahun 2022 menjadi sebesar US$ 2,8 triliun pada awal 2030 agar selaras dengan Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan global hingga 2 oC atau kurang.