Tuan Rumah COP28, UAE Tuai Konflik karena Ekspansi Migas Besar-Besaran
Uni Emirat Arab (UAE) menjadi tuan rumah KTT iklim PBB atau COP28 yang mulai diselenggaran 30 November 2023. Namun posisinya sebagai tuan rumah dianggap kontradiktif karena UAE memiliki rencana net zero busting terbesar untuk ekspansi minyak dan gas (migas) dibandingkan dengan perusahaan manapun di dunia.
Ekspansi tersebut misalnya dilakukan Perusahaan Minyak Nasional Abu Dhabi, Adnoc. Produsen migas terbesar ke-11 di dunia dan menghasilkan lebih dari satu miliar barel setara minyak (BBOE) pada 2021. Namun, perusahaan tersebut sudah bulat untuk melakukan ekspansi jangka pendek yang besar, dengan rencana untuk menambah 7,6 BBOE ke dalamnya.
Padahal pada acara COP28 nanti, para negara akan mencoba untuk menyetujui pengurangan penggunaan bahan bakar fosil dan meningkatkan energi terbarukan hingga tiga kali lipat. KTT ini diadakan pada akhir tahun untuk membahas terkait fenomena suhu global yang telah melonjak hingga dampak cuaca ekstrem yang hebat.
Para peneliti iklim menilai rencana ekspansi besar-besaran pada produksi minyak dan gas milik UEA, merupakan sebuah konflik kepentingan yang jelas dan sangat konyol.
Menanggapi hal itu, Kepala Eksekutif Adnoc sekaligus presiden pertemuan COP28, Sultan Al Jaber, mengatakan sebanyak 90% ekspansi minyak tersebut akan tetap berada di dalam tanah untuk memenuhi skenario net zero emission yang ditetapkan oleh Badan Energi Internasional.
Dia mengatakan, ekspansi tersebut dilakukan untuk memproduksi minyak dan gas yang setara dengan 7,5 miliar barel minyak.
Sementara itu, berdasarkan data dari Global Oil and Gas Exit List (Gogel), mencatat bahwa hampir semua perusahaan mengabaikan peringatan dari para ilmuwan iklim bahwa ladang migas baru tidak dapat dikembangkan jika kenaikan suhu global ingin dijaga pada batas 1,5 derajat Celsius yang telah disepakati secara internasional. Gogel merupakan sebuah basis data publik yang merinci aktivitas lebih dari 1.600 perusahaan dan mewakili 95% produksi global.
Data juga menunjukkan bahwa:
- US$ 170 miliar dolar telah dihabiskan oleh industri untuk eksplorasi cadangan minyak dan gas baru sejak tahun 2021.
- 96% dari 700 perusahaan yang mengeksplorasi atau mengembangkan ladang minyak dan gas baru juga melakukan ekspansi
- Lebih dari 1.000 perusahaan merencanakan jaringan pipa gas baru, pembangkit listrik tenaga gas, atau terminal ekspor gas alam cair (LNG).
Pekan lalu, PBB memperingatkan bahwa produsen bahan bakar fosil merencanakan ekspansi yang akan membengkakkan anggaran karbon planet ini dua kali lipat. Para ahli menyebut rencana tersebut sebagai "kegilaan" dan mengatakan bahwa rencana tersebut "membuat masa depan umat manusia dipertanyakan".
Sementara itu, serangkaian penelitian ilmiah telah menyimpulkan bahwa sebagian besar cadangan minyak, gas, dan batu bara yang ada harus tetap berada di dalam tanah untuk mengatasi keadaan darurat iklim. Namun, perusahaan-perusahaan bahan bakar fosil besar dan perusahaan-perusahaan minyak bumi masih belum berhenti melakukan eksplorasi.
"Besarnya rencana ekspansi industri ini benar-benar menakutkan," kata, Kepala Penilitian Minyak dan Gas di LSM Urgewald, Nils Bartsch, dikutip dari The Guardian, Kamis (15/11).
"Untuk menjaga agar 1,5 derajat celcius tetap hidup, penurunan produksi minyak dan gas yang cepat dan terkelola sangat penting. Sebaliknya, perusahaan minyak dan gas sedang membangun jembatan menuju kekacauan iklim." kata dia.
Bartsch mengatakan, peran ganda yang dipegang oleh Al Jaber sangata konyol. Menurut dia, Al Jaber seharusnya bisa menjadi seseorang yang bertanggung jawab dalam mengupayakan perubahan iklim. Namun dia justru bertindak untuk melakukan ekspansi besar-besaran pada perusahaan minyak dan gasnya.
“Saya tidak yakin bagaimana seseorang yang bertanggung jawab atas ekspansi minyak dan gas semacam ini cocok untuk memimpin negosiasi iklim. Ini adalah konflik kepentingan yang paling jelas," ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara Adnoc mengatakan, data dan asumsi terkait ekspansi mintak dan gas tidak benar dan menyesatkan. Pasalnya, perusahaan juga belum memberikan angka untuk rencana ekspansi produksi minyak dan gasnya.
Menurut dia, semua skenario transisi energi saat ini, termasuk oleh IEA (Badan Energi Internasional), mengakui bahwa minyak dan gas masih dibutuhkan untuk memenuhi permintaan energi di masa depan. Hal itu mempertimbangkan pertumbuhan populasi global yang mencari akses universal ke energi,
“Adnoc memproduksi beberapa minyak dan gas yang paling sedikit menghasilkan karbon di dunia,” ujarnya
Skenario IEA menetapkan jalur yang layak untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050 yang konsisten dengan menjaga pemanasan global di bawah 1,5C. Tidak ada produksi minyak dan gas baru yang dapat terjadi setelah tahun 2023 dalam skenario ini.
Dengan demikian, rencana produksi setelah tanggal tersebut melampaui skenario. Atas dasar ini, Adnoc memiliki rencana ekspansi terbesar yang tidak sesuai dengan batas 1,5C.