Perdagangan Karbon Luar Negeri dan Energi Amonia Masuk DIM RUU EBET
Dua substansi baru diajukan pemerintah dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Dua substansi tersebut adalah perdagangan karbon luar negeri dan amonia sebagai sumber energi baru terbarukan.
Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, mengatakan pemerintah mengusulkan pembahasan nilai karbon perdagangan luar negeri dalam rangka mencapai Target Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution/ NDC) dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca.
"Ini merupakan bagian dari transisi energi," kata Sugeng saat membuka Rapat Kerja dengan Kementerian ESDM dan sejumlah instansi lainnya di Jakarta, Senin (20/11).
Sementara itu, terdapat sejumlah DIM yang memerlukan pembahasan lebih lanjut, yaitu:
1. Tingkat Kandungan Dalam Negeri untuk EBET
Sugeng mengatakan, secara substansi hal ini sudah disepakati. Namun, kondisi riil di lapangan ternyata banyak sektor ketenagalistrikan, terutama yang hibah, tidak memenuhi regulasi TKDN yang berlaku
2. Power Wheeling
Sugeng mengatakan, optimalisasi pemanfaatan EBT untuk memenuhi kebutuhan konsumen atau power wheeling memerlukan penjelasan lebih detail. Hal itu terutama dikaitkan optimalisasi wilayah usaha dalam kebutuhan konsumen, serta dampaknya pada kegiatan usaha PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ke depan
3. Urgensi Badan Khusus EBT dan Pembiayaan
Badan khusus EBT merupakan usulan dari DPR. Namun, Sugeng mengatakan, hal itu memerlukan tanggapan dari pemerintah.
"Terkait pembiayaan EBT, komisi VII beranggapan itu perlu diatur lebih rinci supaya bisa diarahkan ke energi baru terbarukan," ujarnya.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan pemerintah mengusulkan untuk tidak mengatur amanat pembentukan badan khusus pengelola Energi terbarukan yang baru di dalam RUU EBET. Hal itu mempertimbangkan arahan Presiden RI untuk melaksanakan penyederhanaan birokrasi dan penataan kelembagaan.
Arifin mengatakan, sebelumnya juga sudah ada regulasi eksisting yang telah mengatur kewenangan pelaksanaan kebijakan energi baru dan energi terbarukan oleh Kementerian ESDM.
"Untuk pengelolaan dana khusus untuk yang bersumber dari energi terbarukan, saat ini sudah dibentuk BPDPKS (Badan Pengelolaan Dana Kelapa Sawit) dan BPDLH (Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup)," kata Arifin.
Power Wheeling Tidak Taat Konstitusi
Ekonom konstitusi Defiyan Cori menyatakan Komisi VII DPR RI tidak taat pada hukum konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 jika menyepakati klausul power wheeling dalam RUU EBT.
“Komisi VII DPR RI jelas tidak taat pada hukum konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 dengan memaksakan power wheeling atau penggunaan jaringan daya negara oleh swasta dimasukkan kembali dalam DIM RUU EBET,” katanya seperti dikutip dari Antara, Minggu (19/11).
Selain itu, dia mengatakan, telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) pada Desember 2016 yang telah membatalkan Pasal 10 ayat 2 dan Pasal 11 ayat 1 UU No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, khususnya terkait kewenangan penyediaan listrik bagi masyarakat.
Dengan demikian, aturan turunannya, termasuk Permen ESDM No. 1/2015 dan No. 11/2021 terkait klausul pemberian izin pengelolaan listrik kepada pihak selain negara telah batal demi hukum konstitusi dan harus dicabut.
"Dua klausul itu sudah dicabut pada 24 Januari 2023 lalu dari DIM RUU EBET. Ini muncul lagi," katanya menanggapi munculnya dua klausul terkait pembentukan Badan Usaha Khusus EBT dan Power Wheeling yang kembali muncul dalam pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) DPR RI.
Defiyan menduga adanya kepentingan bisnis terkait pembahasan RUU EBET dan dikhawatirkan perusahaan-perusahaan/korporasi ingin mengamputasi mandat negara menjaga kedaulatan energi.
Apabila DPR memaksakan klausul penggunaan jaringan daya PLN dimanfaatkan untuk kepentingan pihak lain atau swasta, artinya parlemen telah melakukan perdagangan terselubung (insider trading) melalui pembentukan sebuah UU.