Jokowi dan Delegasi 190 Negara Kumpul di Dubai Besok, Bahas Apa Saja?
Sejumlah pemimpin negara dan delegasi dari 190 negara akan mengikuti konferensi Perubahan Iklim (COP28) PBB di Dubai, Uni Emirat Arat,yang berlangsung mulai besok Kamis (30/11). Semua peserta konferensi akan membahas sejumlah isu mengenai perubahan iklim, termasuk kesepakatan menghentikan bahan bakar fosil.
Indonesia termasuk salah satu negara yang akan berpartisipasi dalam COP28. Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga dijadwalkan untuk menghadiri agenda tersebut.
Berikut adalah isu-isu utama dalam perundingan COP28 selama dua pekan yang dimulai pada 30 November di Dubai, seperti dikutip dari Reuters, Rabu (29/11):
1. Kemajuan Upaya Mitigasi Perubahan Iklim
Tugas utama COP28 adalah menilai kemajuan negara-negara dalam memenuhi tujuan Perjanjian Paris 2015 untuk membatasi kenaikan suhu global hberada di bawah ambang 1,5 derajat celcius.
Ketika upaya-upaya global masih tertinggal, negara-negara akan berusaha untuk menyepakati menyusun rencana agar dunia berada di jalur yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan iklim. Hal itu mencakup langkah-langkah mendesak menuju pengurangan emisi CO2 atau meningkatkan investasi teknologi ramah lingkungan.
Negara-negara diharapkan memperbarui target dan rencana pengurangan emisi nasional mereka pada 2025.
2. Masa Depan Bahan Bakar Fosil
Pembicaraan terberat di COP28 mungkin berfokus pada peran bahan bakar fosil di masa depan. Saat ini muncul sejumlah dorongan agar negara-negara sepakat bermkomitmen untuk mulai menghentikan penggunaan batu bara, minyak, dan gas yang menghasilkan CO2.
Negara-negara di COP26 sepakat untuk mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap, namun mereka tidak pernah sepakat untuk menghentikan semua bahan bakar fosil. Sebagai informasi, bahan bakar fosil merupakan sumber utama emisi yang menyebabkan pemanasan global.
Amerika Serikat, Uni Eropa, dan banyak negara yang rentan terhadap perubahan iklim mendesak adanya kesepakatan akhir COP28 yang mewajibkan negara-negara untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil. Namun Kelompok G20 gagal menyepakati hal ini pada pertemuan puncak mereka pada Juli 2023. Negara-negara termasuk Rusia mengatakan mereka akan menentang penghentian penggunaan bahan bakar fosil.
Presiden COP28 dari UEA, Sultan al-Jaber, mengatakan bahwa pengurangan penggunaan bahan bakar fosil tidak dapat dihindari. Namun negara-negara masih menunggu komitmen UEA mendorong negara-negara kaya minyak lainnya untuk mendukung gagasan tersebut di COP28. Jaber mendapat kritik karena peran gandanya sebagai pimpinan perusahaan minyak dan gas milik negara UEA, ADNOC, dan juga presiden perundingan perubahan iklim.
3. Teknologi untuk mengatasi emisi
UEA dan negara-negara lain yang perekonomiannya bergantung pada bahan bakar fosil ingin COP28 memasukkan fokus pada teknologi baru yang dirancang untuk menangkap dan menyimpan emisi CO2 di bawah tanah.
Badan Energi Internasional mengatakan bahwa teknologi pengurangan emisi ini sangat penting untuk mencapai tujuan iklim global. Namun, teknologi tersebut juga mahal dan saat ini tidak digunakan dalam skala besar. UE dan negara-negara lain khawatir hal ini akan digunakan untuk membenarkan penggunaan bahan bakar fosil secara terus-menerus.
4. Meningkatkan kapasitas energi bersih
Negara-negara akan mempertimbangkan untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan dan menggandakan penghematan energi pada tahun 2030, sebuah proposal yang dibuat oleh Uni Eropa, Amerika Serikat, dan presiden COP28 UEA.
Hal ini tampaknya akan mendapat dukungan luas, karena negara-negara besar G20 termasuk Tiongkok sudah mendukung tujuan energi terbarukan. Namun UE dan beberapa negara yang rentan terhadap perubahan iklim bersikeras untuk menggabungkan janji meningkatkan energi terbarukan dengan penghapusan bahan bakar fosil secara bertahap, sehingga menimbulkan konflik.
5. Pembiayaan untuk Upaya Menekan Perubahan iklim
Mengatasi perubahan iklim dan dampaknya memerlukan investasi yang sangat besar. Investasi tersebut jauh lebih besar dari anggaran yang dianggarkan dunia sejauh ini.
Menurut PBB, negara-negara berkembang akan membutuhkan setidaknya US$ 200 miliar setiap tahun pada 2030 untuk beradaptasi terhadap dampak iklim yang memburuk seperti kenaikan permukaan laut atau badai.
Ada juga dampak kerusakan yang disebabkan oleh bencana iklim. Pada COP28, negara-negara akan ditugaskan untuk menyiapkan dana “kerugian dan kerusakan” untuk membantu hal ini. Dana tersebut diperkirakan mencapai setidaknya US$ 100 miliar pada 2030.
Negara-negara yang rentan menginginkan lebih banyak dana yang dibelanjakan untuk beradaptasi dengan dunia yang dipastikan akan menjadi lebih hangat dalam beberapa dekade mendatang. Mereka ingin negara-negara kaya, yang emisi CO2-nya di masa lalu menyebabkan perubahan iklim, untuk membayar hutang mereka.
Uni Eropa dan AS telah mengatakan bahwa mereka akan memberikan dana kerusakan iklim pada COP28. Namun, mereka juga membicarakan perlunya pendanaan swasta untuk membantu. Negara-negara kaya juga menghadapi tekanan untuk membuktikan bahwa mereka telah memenuhi janji pendanaan iklim yang telah jatuh tempo, yakni sebesar US$100 miliar per tahun kepada negara-negara berkembang.