Mantan Wapres AS Kecam UEA Sebagai Tuan Rumah COP28
Aktivis iklim dan Mantan Wakil Presiden AS, Albert Arnold Gore, mengecam Uni Emirat Arab (UEA) sebagai menjadi tuan rumah konferensi iklim COP28. Dia mengatakan, posisi UEA sebagai pengawas negosiasi internasional mengenai pemanasan global tahun ini merupakan penyalahgunaan kepercayaan publik.
Komentar tersebut, disampaikan Al Gore dalam sebuah wawancara Reuters di sela-sela konferensi di Dubai. Dia juga ragu Presiden COP28 Sultan al-Jaber bisa menjadi perantara yang jujur dalam kesepakatan iklim tersebut. Pasalnya, Al-Jaber juga menjabat sebagai CEO perusahaan besar minyak nasional UEA, ADNOC.
"Mereka menyalahgunakan kepercayaan publik dengan menunjuk CEO salah satu perusahaan minyak terbesar dan paling tidak bertanggung jawab di dunia sebagai ketua COP28 ini,” ujar Gore, dikutip dari Reuters, Senin (4/12).
Gore mengungkap data yang menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca UEA meningkat 7,5% pada 2022 dari tahun sebelumnya. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan 1,5% di seluruh dunia.
“Data tersebut berasal dari koalisi yang ia dirikan bersama yang disebut Climate TRACE. Data didapatkan menggunakan kecerdasan buatan dan data satelit untuk melacak emisi karbon dari perusahaan-perusahaan tertentu,” kata Gore.
Namun demikian, UEA tidak segera memberikan komentar atas pernyataan Gore atau data TRACE tersebut.
Gor juga memprotes kehadiran perusahaan-perusahaan minyak dan gas pada pertemuan iklim tahunan tersebut. Perusahaan-perusahaan tersebut mempromosikan teknologi seperti penangkapan karbon sebagai cara untuk membersihkan emisi bahan bakar fosil.
Ketika ditanya mengenai kehadiran CEO Exxon Mobil Darren Woods untuk pertama kalinya dalam konferensi COP28, Gore mengatakan bahwa kehadiran perusahaan minyak raksasa tersebut tidak menghapus sejarah perlawanannya terhadap kebijakan iklim.
"Dia tidak boleh dianggap serius. Dia melindungi keuntungannya dan menempatkannya pada prioritas yang lebih tinggi daripada kelangsungan hidup peradaban manusia," kata Gore.
Selain itu, Gore juga mendesak para delegasi untuk menyetujui penghapusan bahan bakar fosil, dengan menggantinya menggunakan teknologi penangkap karbon atau Carbon Capture Storage (CCS).
"Kondisi teknologi saat ini untuk penangkapan karbon dan penangkapan udara langsung adalah sebuah proyek yang baik untuk mengurangi emisi,” ujarnya.
Menurut dia, penerapan teknologi CCS bisa mengurangi biaya perusahaan selama 50 tahun. Ini juga merupakan sebuah teknologi yang layak secara ekonomi. Namun, menurut dia masih banyak dari perusahaan bahan bakar fosil yang tidak menginginkan teknologi tersebut.
Indonesia Kebut Pengembangan Teknologi CCS
Sebelumnya, Kementerian ESDM berupaya mempercepat pengembangan penangkapan karbon, baik teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) maupun Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) di Indonesia.
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan, penerapan CCS/CCUS penting diterapkan di Indonesia karena bisa menekan emisi karbon dalam rangka mengejar target net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Selain itu, Indonesia berpotensi menjadi pelopor dalam implementasi teknologi penangkapan karbon di Asia Tenggara, baik CCS maupun CCUS. Namun, Tutuka mengatakan bahwa penerapan teknologi tersebut di indonesia tentu tidak mudah karena adanya sejumlah tantangan.
Pertama, dari sisi resiko dampak lingkungan. Menurutnya, pengangkutan CO2 (karbon dioksida) dapat membawa dampak yang jelas bagi risiko lingkungan.
"Maka dari itu, kami perlu adanya kolaborasi lintas negara untuk memperjelas penanggung jawaban risiko dari sisi lingkungannya dari adanya penerapan CCS/CCUS ini," ujar Tutuka saat ditemui awak media, di Hotel Mulia, Jakarta, Senin (11/9).
Dia mengatakan tantangan kedua yakni terkait teknis di mana perlu menjamin bahwa tidak adanya kebocoran karbon setelah dilakukan injeksi. Pasalnya, CO2 berhubungan dengan air, yang lambat laun menyebabkan adanya korosif sehingga menimbulkan kebocoran.
"Jadi tidak lari kemana-mana itu nanti akan jadi masalah lingkungan. Kita harus pastikan dengan aturan yang ada, bahwa tidak terjadi kebocoran setelah diinjeksikan," kata Tutuka.
Selanjutnya, dia menyebutkan tantangan ketiga yakni terkait keekonomian atau biaya. Tutuka menuturkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk membangun CCS/CCUS di Indonesia cukup besar. Untuk itu, pemerintah saat ini gencar mencari investor baik dari luar maupun dalam negeri.