Indeks Kinerja Perubahan Iklim Indonesia Turun ke Ranking 36
Peringkat Indonesia dalam Climate Change Performance Index (CCPI) atau Indeks Kinerja Perubahan Iklim 2024 turun sepuluh peringkat dari ranking 26 ke ranking 36 secara global. Penurunan peringkat ini disebabkan Indonesia menerima rating yang rendah dalam kategori kebijakan iklim dan emisi gas rumah kaca, rating medium dalam penggunaan energi, dan tinggi dalam energi terbarukan.
Secara keseluruhan, Indonesia menerima rating yang rendah. Indonesia kalah jauh dari Filipina yang berada di peringkat ke-6, Thailand ranking ke-25, dan Vietnam yang ada di posisi ke-27. Namun, Indonesia lebih baik daripada Malaysia yang berada di peringkat ke-59.
CCPI mengosongkan peringkat pertama hingga ketiga dalam indeks ini karena menilai negara-negara harus berupaya lebih keras untuk mencapai peringkat tersebut.
Denmark berada di posisi paling atas, yakni peringkat ke-4 dunia, bertahan sejak 2023. Di posisi kelima ada Estonia, naik empat peringkat dibandingkan tahun lalu. Filipina di posisi keenam, naik enam peringkat dibandingkan tahun lalu. Adapun India naik satu peringkat ke peringkat ketujuh.
Para pakar negara CCPI mengkritik bahwa Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia masih belum selaras dengan Paris Agreement dan hanya didasarkan pada perhitungan 'business-as-usual' yang meningkat. Berdasarkan peringkat CCPI tahun lalu, perlu dicatat bahwa NDC yang telah diperbarui hanya bersifat sementara hingga tahun 2024. Target nol-nol NDC membutuhkan kerangka kerja regulasi yang lebih kuat.
Harga Karbon Masih Sangat Rendah
Para ahli CCPI menyambut baik kombinasi dari komitmen untuk menghentikan penggunaan batu bara dalam Just Energi Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM) bersama dengan Peraturan Presiden 112/2022, di mana ada moratorium pembangunan pembangkit listrik batu bara baru.
Namun, para ahli menilai belum ada kebijakan yang dikembangkan untuk menghentikan atau membatasi penggunaan bahan bakar fosil. Selain itu, mereka menilai Indonesia belum memiliki target yang dikembangkan untuk membatasi produksi bahan bakar fosil sesuai dengan target 1,5°C.
"Indonesia meluncurkan sistem pembatasan dan perdagangan (cap and trade) baru untuk pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun, perlu dicatat bahwa harga karbon masih sangat rendah dan dengan batasan emisi yang sangat longgar, sehingga tidak jelas bagaimana langkah ini dapat benar-benar efektif dalam mengurangi emisi GRK," kata para ahli CCPI.
Pada saat artikel ini ditulis, tanggal implementasi yang tepat dari sistem ini masih belum pasti. Implementasi sistem ini untuk sektor-sektor lain diperkirakan baru akan dilakukan pada tahun 2025.
Para ahli mengindikasikan bahwa 36 unit pembangkit listrik tenaga biomassa-batu bara aktif pada tahun 2022. Ada juga peningkatan produksi biodiesel dari minyak sawit mentah.
Para ahli juga mencatat adanya potensi masalah keadilan lingkungan, perubahan penggunaan lahan yang bermasalah, dan deforestasi yang dapat dicegah seiring dengan perluasan perkebunan kelapa sawit dan perkebunan biomassa berbasis kayu untuk PLTU batu bara. Hal ini juga dapat mempengaruhi emisi GRK negara dari sektor kehutanan.
Peta Jalan Energi Terbarukan dan Pengurangan Emisi GRK
Para ahli ingin melihat Indonesia mencapai potensinya dalam aksi iklim dengan memiliki peta jalan yang tepat untuk energi terbarukan dan pengurangan emisi GRK. "Indonesia perlu meningkatkan NDC-nya agar selaras dengan target 1,5°C," ujar para ahli CCPI.
Indonesia juga perlu menetapkan target energi terbarukan yang lebih tinggi agar sesuai dengan target NDC, dan menerapkannya dengan rencana pendanaan yang sesuai.
Indeks Kinerja Perubahan Iklim (CCPI) tahunan, yang diterbitkan sejak tahun 2005, merupakan alat pemantauan independen untuk melacak kinerja perlindungan iklim dari 59 negara di dunia dan Uni Eropa. Indeks ini dipublikasikan oleh Germanwatch, NewClimate Institute, dan the Climate Action Network.
CCPI bertujuan untuk meningkatkan transparansi dalam politik iklim internasional dan memungkinkan perbandingan upaya dan kemajuan perlindungan iklim masing-masing negara. Dalam penyusunan laporan ini, CCPI melibatkan sekitar 450 pakar energi dan iklim dari seluruh dunia.