Potensi Ekonomi Karbon RI Capai Rp 3.000 T, Berasal dari 5 Sektor
Potensi nilai ekonomi karbon (NEK) Indonesia mencapai Rp 3.000 triliun. Terdapat lima sektor yang berpotensi menjadi sumber NEK tersebut.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Nani Hendiarti, mengatakan Indonesia memiliki target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia dengan kemampuan sendiri atau Nationally Determined Contributions (NDC) sebesar 31,89% atau 917 MTon CO2e. Angka tersebut meningkat dari target sebelumnya sebesar 29%.
"Peningkatan target tersebut didasarkan kepada kebijakan-kebijakan nasional terakhir terkait perubahan iklim di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo," kata Nani dikutip dari siaran Youtube Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dikutip Rabu (3/1).
Nani mengatakan, target penurunan emisi GRK mencapai 43,2% dengan dukungan internasional. Saat ini, banyak negara yang tertarik membantu Indonesia untuk mempercepat pengurangan emisi. Target ini menunjukkan Indonesia sangat serius untuk menekan emisi karbon.
5 Sektor Nilai Ekonomi Karbon
Nani mengatakan, pemerintah menilai jika NEK mampu mempercepat pencapaian NDC. Indonesia telah memiliki Peraturan Presiden No 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk Pencapaian Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi GRK dalam Pembangunan Nasional.
“Salah satu yang potensi yang kita miliki yang bisa mendorong percepatan dan juga upaya agar pencapaian ini lebih cepat itu adalah carbon pricing. Jadi kalau kemarin dilaporkan di COP28 capaian Indonesia untuk NDC sudah cukup bagus jadi on track,” tutur Nani.
Dia mengatakan, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk NEK dari 5 sektor. Menurut Nani, Pengurangan emisi tersebut berasal dari lima sektor yaitu FOLU (forestry and other land use), energi, industri, limbah dan pertanian.
Nani mencontohkan sektor FOLU Net Sink untuk hutan sebesar 125 juta hektar setara dengan pengurangan 300 juta ton CO2. Begitu juga dengan mangrove yang memiliki luas 3,36 juta hektar, kapasitas penyerapan karbonnya bisa delapan kali dari hutan biasa.
Sementara gambut Indonesia memiliki luas 7,5 juta hektar dan kemampuan untuk menyerap sebesar 960 juta ton CO2 per tahun.
“Dan ini baru dari sektor FOLU atau biasa disebut NBS (Nature Based Solutions) atau EBA (Ecosytem Based Approaches). Jadi potensi-potensi ini kalau semua kita hitung sebenarnya angkanya sangat besar bisa mencapai Rp 3000 triliun kalau kita bergerak sampai tahun 2030," ujarnya.
Nani berharap Indonesia dapat memanfaatkan potensi-potensi yang dimilikinya untuk penanganan perubahan iklim dan pembangunan nasional.
Sejumlah negara sudah menetapkan harga karbon. Inggris merupakan negara dengan harga karbon tertinggi di antara anggota G20.