Ramai Produsen Kendaraan Listrik Tinggalkan Nikel, Apa Alternatifnya?
Nikel tidak menjadi satu-satunya komponen yang dibutuhkan dalam membuat baterai kendaraan listrik. Saat ini, produsen kendaraan listrik telah mencari cara alternatif untuk memproduksi baterai tanpa nikel.
Pencarian alternatif produksi kendaraan listrik tanpa baterai semakin menguat setelah harga nikel melambung tinggi mengingat perannya sebagai bahan inti dalam teknologi baterai kendaraan listrik. Kenaikan harga itu semakin parah saat terjadi perang Rusia-Ukraina.
Menurut data Bank Dunia, harga nikel mencapai puncaknya sebesar US$ 33.924 per ton pada Maret 2022. Angka tersebut naik 206% dibandingkan Maret 2021 sebesar US$ 16.406 per ton. Harga nikel kemudian turun namun tetap berada di level US$ 28.946 per ton pada Desember 2022.
Produsen Mobil Listrik Tinggalkan Nikel
Sejumlah produsen kendaraan listrik raksasa mulai meninggalkan Nikel. Tesla mengumumkan meninggalkan baterai berbahan baku nikel secara bertahap sejak Oktober 2021. Mereka menggunakan baterai lithium iron phosphate (LFP) terutama untuk produk standarnya.
“Diversifikasi bahan kimia baterai sangat penting untuk pertumbuhan kapasitas jangka panjang, untuk lebih mengoptimalkan produk kami untuk berbagai kasus penggunaannya dan memperluas basis pemasok kami,” tulis pengumuman Tesla, dikutip dari Spglobal.com, Senin (15/1).
Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) pun menemukan bahwa 75% dari mobil listrik yang terjual di Indonesia pada 2022 menggunakan baterai LFP yang tidak menggunakan bahan baku Nikel. Salah satu merek mobil listrik yang menggunakan baterai LFP adalah Wuling Air Ev,
Dikutip dari Forbes.com, baterai LFP sudah menjadi sumber daya sebagian besar kendaraan listrik di pasar Tiongkok. Penggunaan baterai tersebut kemudian diikuti oleh Amerika Serikat.
Sebelumnya, hampir semua kendaraan listrik yang dijual di AS menggunakan baterai lithium ion dengan katoda yang terdiri dari beberapa variasi bahan kimia nikel-kobalt. Baterai ini menawarkan kombinasi terbaik dalam hal jangkauan, daya, dan ukuran, namun harganya mahal.
Bahan kimia nikel-kobalt juga agak rentan terhadap pelepasan panas jika rusak secara fisik atau memiliki cacat produksi. Pelarian termal disebabkan oleh adanya oksigen dalam campuran nikel-kobalt yang dilepaskan ketika sel mengalami korsleting internal dan memanas.
Sementara LFP tidak mengandung oksigen sehingga meskipun dapat mengeluarkan sejumlah gas saat terjadi korsleting, baterai tersebut tidak akan terbakar seperti baterai nikel. Hal ini membuatnya jauh lebih aman dan tahan lama meskipun dengan mengorbankan kepadatan energi yang lebih rendah.
Biasanya baterai LFP yang dibuat dengan arsitektur serupa dengan baterai nikel, memiliki kepadatan energi sekitar 30-40% lebih rendah. Namun, baterai dapat bertahan selama ribuan siklus pengisian daya dan tahan terhadap penyalahgunaan pengisian daya yang lebih cepat.
Permintaan Baterai LFP Terus Menanjak
Dikutip dari visualcapitalist.com, pasar baterai LFP global mencapai US$ 12,5 miliar pada 2022. Jumlah itu sekitar 30 persen dari pangsa pasar baterai listrik 2022, naik dari 2020 yang hanya mencapai 6%.
Angka ini terus bertambah pada 2023 mencapai US$ 15 miliar. Pangsa pasar baterai LFP diperkirakan terus melonjak pada 2030 yang mencapai US$ 52,7 miliar. Hal tersebut menunjukkan semakin besarnya daya tarik baterai lithium-ion jenis ini di sektor kendaraan listrik.
Kawasan Asia Pasifik mendominasi pasar baterai LFP pada 2021, menguasai lebih dari 34% pangsa global. Sementara Amerika Utara dan Eropa berada di posisi kedua dan ketiga, masing-masing sebesar 29 persen dan 23 persen.